PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK UNTUK
MENGARAH PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK YANG BERKELANJUTAN.
I. PENDAHULUAN
Pertanian konvensional
sekarang ini digunakan hampir di seluruh kegiatan pertanian yang ada di
Indonesia. Pertanian konvensional adalah praktik kegiatan budidaya pertanian
yang lahir dari evolusi hijau. Revolusi hijau menganjurkan perubahan dalam
praktik-praktik budidaya pertanian tradisional sebagai jawaban atas pemenuhan
kebutuhan produk pertanian yang semakin meningkat sejalan dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk. Revolosi
hijau yang telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara
spektakuler. Petani mulai berpaling meninggalkan penggunaan pupuk organik,
berubah ke penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi hara tinggi. Dengan
revolosi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga
telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan dalam
dua-tiga dasawarsa terakhir.
Peningkatan produksi pangan
tersebut disebabkan pola input intensive atau teknologi masukan tinggi
yang salah satunya dicirikan dengan penggunaan agrokimia yang berupa penggunaan
pupuk buatan dan pestisida yang tinggi, dan penggunaan varietas unggul yang
dicirikan oleh umur pendek dengan hasil tinggi, sehingga terjadi pengurasan
hara dalam kurun waktu yang pendek relatif tinggi. Akibat dari perubahan pola
budidaya ini, menyebabkan kebutuhan pupuk dunia melonjak sangat pesat dari
tahun ke tahun termasuk Indonesia (Suntoro,
2003).
Keberhasilan-keberhasilan
itu membuat praktik pertanian tersebut
dianggap baik, namun seiring dengan berjalannya waktu dan peningkatan
pengetahuan masyarakat menjadikannya sesuatu yang tidak baik. Penggunaan
bahan-bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) kemampuan
tanah dalam menyediakan unsure hara. Penggunaan
pupuk buatan yang berkonsentrasi tinggi yang tidak proporsional ini, akan
berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah (Notohadiprawiro, 1989),
sehingga akan memungkinkan terjadinya kekahatan hara lain (Suntoro, 2003).
Di
samping itu, petani mulai banyak yang meninggalkan penggunaan pupuk organik
yang berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak
tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan (Juarsah,
I. 1999). Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan
organiknya kurang dari 1 persen (Sugito, et al., 1995).
Tanaman utama pertanian di
Indonesia adalah padi. Padi merupakan tanaman pangan yang menghasilkan beras
sebagai sumber makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Namun Intensifikasi
padi dengan asupan pupuk kimia dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama,
serta kurangnya memperhatikan penggunaan bahan organik dalam sistem produksi
padi sawah telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan hara tanah yang
berakibat terhadap penurunan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri. Gejala ini
terlihat dibeberapa wilayah sentra produksi padi, dimana terjadi pelandaian
produktivitas, bahkan secara nasional pada beberapa tahun terakhir ini produksi
padi cenderung melandai. Pelandaian produksi dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, terutama penggunaan pupuk yang sudah melampaui batas efisiensi teknis
dan ekonomis (Adiningsih dan Soepartini, 1995 cit joko, 2001).
Sistem pertanian organik
adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan
produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan
serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Dalam prakteknya, pertanian
organik dilakukan dengan cara, antara lain: (1) Menghindari penggunaan
bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) Menghindari penggunaan pestisida kimia
sintetis (3) Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara
mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) Menghindari penggunaan zat pengatur
tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) Kesuburan dan produktivitas tanah
ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu tanaman, pupuk kandang,
dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman, dan (6)
Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan
ternak (Deptan, 2002).
pertanian organik bersamaan dengan bangkitnya
kesadaran masyarakat dunia akan perlunya pemanfaatan sumber energi yang
terbarukan dan sejalan dengan makin meningkatnya dampak negatif dari pertanian
modern. Pendapatan masyarakat yang meningkat dan semakin tingginya tingkat
pendidikan mendorong kesadaran mereka akan arti pentingnya pola makanan sehat.
Trend pertanian organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani
yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistim pertanian organik.
Pada dasarnya pertanian
organik bertujuan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan lingkungan,
peningkatan nilai tambah ekonomi produk pertanian dan pendapatan petani.
Penggunaan pupuk hijau, pupuk hayati, peningkatan biomasa, penyiapan kompos
yang diperkaya dan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit secara hayati
diharapkan mampu memperbaiki kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat
ditingkatkan, tetapi aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsi (Sutanto,
2002).
Pertanian organik mengacu
pada bentuk-bentuk pertanian dengan berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber
daya 1okal yang ada dan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem
usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling
melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. Berusaha mencari cara
pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi
unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi
fisik, dan manusia. Perhatian utama dalam pemanfaatan input luar
diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan
(Reijntjes et al.1999).
Indonesia memiliki tingkat
kebutuhan yang tinggi terhadap beras sebagai makanan pokok masyarakatnya.
Tingginya kebutuhan terhadap beras membuat kebutuhan terhadap lahan pertanian
padi yang produktif juga tinggi. Keberlanjutan produksi pertanian padi sangat
bergantung pada pemupukan yang intensif dan berkelanjutan. Pembudidayaan padi
sawah dengan menggunakan pupuk kimia yang berlebihan dan terus menerus perlu
ditinjau kembali karena selain tidak efisien dari segi biaya juga mengakibatkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem peranian organik yang memanfaatkan
pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman terhadap
lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi lingkungan
dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat meningkatkan
kwalitas tanah (Stockdale et al., 2002 cit Dermiyati, 2009).
II. TINJUAN PUSTAKA
Indonesia memiliki tingkat
kebutuhan yang tinggi terhadap beras sebagai makanan pokok masyarakatnya.
Tingginya kebutuhan terhadap beras membuat kebutuhan terhadap lahan pertanian
padi yang produktif juga tinggi. Tanaman padi
merupakan tanaman pokok dibeberapa negara, termasuk indonesia. Kebutuhan beras
saat ini sekitar 34juta ton beras setara dengan 54 juta ton gabah kering
giling, dengan laju pertambahan penduduk sekitar 1.49%. Maka jumlah penduduk di
Indonesia diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 296 juta jiwa dan
kebutuhan beras sekitar 4.5 juta ton yang setara dengan 65.8 juta ton gabah
kering giling.
Keberlanjutan produksi
pertanian padi sangat bergantung pada pemupukan yang intensif dan berkelanjutan.
Pembudidayaan padi sawah dengan menggunakan pupuk kimia yang berlebihan dan
terus menerus perlu ditinjau kembali karena selain tidak efisien dari segi
biaya juga mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penanaman padi yang sangat intensif dengan pemupukan yang
terus menerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk, tetapi juga
meningkatkan kandungan logam berat tertutama Pb (plumbun) dan Cd (cadmium).
Kasno et al. (2003) mengidentifikasi 21-40% lahan sawah di jalur
Pantura, Jawa Barat, dikategorikan terpolusi atau terkontaminasi oleh kedua
jenis logam berat tersebut, bahkan 4-7% di antaranya dikategorikan
terkontaminasi berat (> 1,0 dan > 0,24 ppm) (Irsal et al, 2006).
Usaha tani
padi konvensional merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan lingkungan dari
residu pupuk dan pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan, serta sebagai
penghasil gas rumah kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O, dan CO2,
khususnya di lahan sawah dan lahan rawa pasang surut yang saat ini luasnya
sekitar 8,50 juta ha atau 6,50% dari luas total sawah dunia. Walaupun
proporsinya tidak sebesar di sektor industri, GRK yang terbentuk di lahan sawah
dilaporkan ikut menyumbang terhadap pemanasan global yang berujung pada
perubahan iklim. Berbagai penelitian memperkirakan emisi gas metana berkisar
antara 3,20−5,80 Tg/ tahun (Taylor et al. 1993), bahkan sumber lain
menyebutkan 9,80 Tg/tahun (Bachelet dan Neue 1992; Husin 1994). Melalui
penelitian jangka panjang, Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dan
Badan Litbang Pertanian memperkirakan emisi gas metana dari lahan sawah sekitar
12% dari total emisi metana (Makarim et al. 1996).
Sistem peranian organik yang
memanfaatkan pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman
terhadap lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi
lingkungan dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat
meningkatkan kwalitas tanah (Stockdale et al., 2002 cit Dermiyati, 2009). Menurut
Karama et al. (1990) dalam Suhartatik dan Sismiyati, 2000)
mengemukakan bahwa bahan organik memiliki fungsi-fungsi penting dalam tanah
yaitu; fungsi fisika yang dapat memperbaiki sifat fisika tanah seperti
memperbaiki agregasi dan permeabilitas tanah; fungsi kimia dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan
meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi
penyerapan P; dan fungsi biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas
jasad renik tanah. Mengingat begitu penting peranan bahan organik, maka
penggunaannya pada lahan-lahan yang kesuburannya mulai menurun menjadi amat
penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya lahan tersebut.
Menurut Hairiah (2002),
pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian alternatif untuk
menanggulangi krisis pertanian konvensional. Sutanto (2006) juga menyatakan,
pertanian organik merupakn sebagai suatu sistem produksi pertanian berdasarkan
daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara melalui saran limbah tanaman,
ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki kesuburan dan struktur
tanah.
Bahan organik tanah
merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran
sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah,
sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh
pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur
tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan
struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar,
dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah.
Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan
sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus
(Stevenson, 1982 cit Suntoro, 2003). Pada tanah pasiran bahan organik dapat
diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal,
sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan
kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al.,
1994 cit Suntoro, 2003). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula
tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan
derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan
egregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat
bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme
tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir
primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat
walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir
lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan
gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3)
Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian
negatif dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik
berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen;
(4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara
bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida,
dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer) (Seta, 1987 cit Suntoro
2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asamhumat lebih bertanggung jawab
pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya
kemantapan agregat tanah (Pertoyo, 1999 cit Suntoro, 2003).
Pengaruh bahan organik
terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran
kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap
keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negative
sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik
memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah. Sekitar 20 – 70 %
kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh:
Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah
(Stevenson, 1982). Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan
tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut
termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk
kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan
organik merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap
mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid
lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama
muatan negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan
fenolik (-OH)nya (Brady, 1990). Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha –1 pada Ultisol
mampu meningkatkan 15,18 % KPK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol (+) kg –1 (Cahyani,
1996).
Muatan koloid humus bersifat
berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan tanah. Dalam suasana sangat masam
(pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan
gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip (-COOH2+
dan -OH2+),
sehingga koloid koloid yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya
dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya
terjadi pelepasan H+ dari gugus
organik dan terjadi peningkatan muatan negative (-COO-, dan –O),
sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980). Dilaporkan bahwa penggunaan bahan
organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan
tanah masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al., 1999
cit Suntoro 2003).
Fraksi organik dalam tanah
berpotensi dapat berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara
nonbiologis, yaitu dengan cara mengadsorbsi pestisida dalam tanah. Mekanisme
ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui: pertukaran ion,
protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan koordinasi
dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan adsorbsi
pestisida dengan bahan organik : (1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya
(koloid humus), (2) sifat pestisidanya, dan (3) Sifat tanahnya, yang meliputi
kandungan bahan organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation
tertukarnya, lengas, dan temperatur tanahnya (Stevenson, 1982 cit Suntoro,
2003).
Pengaruh penambahan bahan
organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh
tingkat kematangan bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya.
Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan
organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan
penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam
organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada
tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan
peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat
Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi.
Dilaporkan bahwa penamhan bahan organik pada tanah masam, antara lain
inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001; Cahyani., 1996; dan Dewi, 1996 cit
Suntoro, 2003). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik
yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik
yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation
basa.
Peran bahan organik terhadap
ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang
merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses
mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K,
Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil.
Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan
dapat digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama
akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi,
yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi
amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini
dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat merupakan
bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah (Tisdel dan Nelson,
1974). Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan
digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera
dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi
adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh
bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti
oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter
yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses
mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman
budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke
atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham,
1994 cit Suntoro, 2003).
Nitrogen merupakan unsur kimia dan
komponen utama yang penting dalam tanaman, protoplasma sel mempunyai kandungan
nitrogen yang tinggi, dan juga merupakan unsure pokok protein, asam amino,
almida dan alkolida. Klorophil juga mempunyai unsure nitrogen, jika dalam
keadaan dibawah optimal ada kecendrungan nitrogen akan ditransfer ke jaringan
yang lebih muda, yang secara fisiologis merupakan daerah aktif titik tumbuh.
Pengaruh bahan organik
terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melaui proses mineralisasi atau
secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson
(1982) menjelaskan ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan
bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini: (1) Melalui proses mineralisasi
bahan organik terjadi pelepasan P mineral (PO4 3-); (2) Melalui aksi dari
asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil dekomposisi, terjadi
pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak larut menjadi
bentuk terlarut,
Al (Fe)(H2O)3 (OH) 2 H2 PO4 + Khelat ===> PO4
2- (larut) + Kompleks AL-Fe- Khelat (Stevenson, 1982).
(3). Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat
karena asam humat dan asam fulvat
berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir
situs pertukaran; (4). Penambahan
bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian
bahan organik asli tanah; (5). Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat
yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap
pada bahan organik secara lemah.
Untuk tanah-tanah berkapur
(agak alkalin) yang banyak mengandung Ca dan Mg fosfat tinggi, karena dengan
terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi
bahan organik, mengakibatkan kelarutan P menjadi lebih meningkat, dengan reaksi
sebagai berikut :
CO2 + H2O ====== > H2CO3
H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3
+ H2PO4 –
Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan
organik juga dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga
fosfat terlepas dan tersedia bagi tanaman.
Hasil proses penguraian dan
mineralisasi bahan organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO4 3-) juga akan
melepaskan senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan
diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses
mineralisasi bahan organik akan berlangsung jika kandungan P bahan organik
tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi,
atau nisbah C/P rendah kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau
pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru
akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson, 1982).
Fosfor adalah komponen asam nukleat,
yang berfungsi untuk mengatur proses perkembangan, defisiensi unsur ini akan
menghambat pertumbuhan, dan juga mempengaruhi pertumbuhan akar. Fosfor juga
merupakan komponen berbagai system fisiologis yang berhubungan dengan nutrisi
dan respirasi dan juga mempengaruhi pemasakan buah, dan elemen ini dibutuhkan
dalam jumlah yang cukup untuk efisiensi penggunaan nitrogen. Fosfor mempunyai
peranan penting dalam pemecahan karbohidrat dan makanan lainnya yang dihasilkan
akibat proses fotosintesis dalam tanaman. Kekurangan fosfor akan menghambat
fotosistesis dan membatasi kemampuan tanaman untuk memproduksi karbohidrat,
peranan fosfor dalam proses pertumbuhan tanaman sebagai berikut :
1.
Stimulasi pertumbuhan awal akar dan perkembangannya
2.
Mempercepat tanaman untuk menghasilkan
3.
Produksi buah dan biji.
Las
et al (1999) cit Arafah (2004), menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi
padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan
kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi. Menurut arifin
et al (1993) cit arafah (2003), bahwa pemberian 5.0 t/ha jerami dapat menghemat
pemakaian pupuk KCl sebesar 100 kg/ha. Sedangkan Adiningsih (1984) (1993) cit
arafah (2003), melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami sebanyak 5 t/ha selama
4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 hg K, 160 kg Mg dan 200 kg Si.
Menurut Sharma dan Mittra (1991) penggunaan jerami sebagai sumber kalium
cenderung lebih efaktif. Hali ini diperkuat oleh Dobermann dan Fairhurt (2000)
bahwa kandungan hara tertinggi dalam selain jerami selain Si (4-7%) adalah
kalium, yaitu sekitar 1.2-1.7%, sedangkan lainnya adalah N (0.5-0.8%), P
(0.07-0.12%), dan S (0.05-0.10).
Percobaan
pemberian bahan organik berupa legum Phaseolus llinntus L pada tanah
Grumusol rata-rata jumlah malai, bobot gabah, bobot gabah bernas, dan nisbah
gabah dan jerami cenderung lebih tinggi pada perlakuan pupuk 135 kg N/ha dengan
bahan organik 5 ton/ha. Perlakuan bahan organik 5 ton/ha berpengaruh nyata
meningkatkan N dalam jerami serta gabah sebesar 0.5%, sedangkan untuk Zn
terjadi kenaikan masing-masing sebesar 20.3 ppm dan 14.0 ppm. Rata-rata kadar
C-organik dan N-total tanah setelah panen cenderung lebih tinggi pada perlakuan
bahan organik 5 ton/ha (Listiawati, 1995).
Azolla
merupakan tumbuhan paku air yang bersimbiosis dengan ganggan hijau biru
anabaena yang mampu menyemat Nitrogen udara sekitar 1-2 kg N/hari (watabene,
1978 cit Tohari, 1996), yang dapat
digunakan sebagai pupuk organik yang mengandung sekitar 4%Nitrogen dengan
mineralisasi sebesar 70-80% Nitrogen Azolla tersedia pada 5-8 minggu setelah
pembenaman. Azolla dapat digunakan sebagai pupuk alternatif sumber Nitrogen.
Azolla dapat menggantikan sepertiga kebutuhan Nitrogen. Berbagai penelitian
tanggapan tanaman padi terhadap pemberian Azolla telah dilakukan. Misalnya
inokulasi Azolla sebanyak 300 gr/m2 pada 7 hari setelah pindah tanam dan
dibenamkan setelah menutup permukaan tanah meningkatkan hasil padi IR 26 dan IR
46 sebesar 1.2 ton/ha (watanabe dkk, 1981 cit Tohari, 2006). Arimbi (1991),
mendapatkan bahwa inokulasi 300 g azolla/m2 meningkatkan hasil padi IR 64
sebesar 18.2%. dari Hasil Penelitian Tohari (2006), bahwa inokulasi azolla 250
sampai 750 g/m2 dapat menggantikan dosis Nitrogen pada pemupukan susulan kedua.
Bahan organik yang lainnya
yanga dapat dimanfaatkan selain dari residu hasil pertanian adalah sampah
perkotaan, Potensi sampah organik, terutama dari daerah perkotaan berpenduduk
padat sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, pada kota dengan penduduk 1 juta jiwa,
timbunan sampah kurang lebih setara dengan 500 ton/hari. Bersadarkan hasil
penelitain Endah et al (2008), bahwa pupuk kompos sampah organik dan pupuk
kandang dapat menyediakan separuh kebutuhan nutrisi pada budidaya padi,
sementara sisanya disediakan oleh pupuk kimia. Endah et al (2008), juga
menyatakan bahwa kompos sampah organik dapat menggantikan penggunaan pupuk
kimia sampai 50% dari dosis standar pada dosis pemupukan ini tingkat
produktifitas padi dapat dipertahankan.
Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena
merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang harganya relatif
murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui fotosintesis,
klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari
karbondioksida (CO2) berasal dari udara dan air (H2O)
dari tanah. Karbohidrat yang dihasilkan adalah klarbohidrat sederhana glukosa.
Di samping itu dihasilkan oksigen (O2) yang lepas di udara.
Sinar matahari
klorofil
6 CO2 + 6 H2O
C6H12O6
+ 6 O2
karbohidrat
Produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula
sederhana yang mudah larut dalam air dan mudah diangkut ke seluruh sel-sel guna
penyediaan energi. Sebagian dari gula sederhana inmi kemudian mengalami
polimerisasi dan membentuk polisakarida. Ada dua jenis polisakarida
tumbuh-tumbuhan, yaitu pati dan nonpati. Pati adalah bentuk simpanan
karbohidrat berupa polimer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik
(ikatan antara gugus hidroksil atom C nomor 1 pada molekul glukosa dengan gugus
hiodroksil atom nomor 4 pada molekul glukosa lain dengan melepas 1 mol air). Polisakarida
nonpati membentuk struktur dinding sel yang tidak larut dalam air. Struktur
polisakarida nonpati mirip pati, tapi tidak mengandung ikatan glikosidik.
Serelia, seperti beras, gandum, dan jagung serta umbi-umbian merupakan sumber
pati utama di dunia. Polisakarida nonpati merupakan komponen utama serat
makanan.
Teknik
Budidaya padi sawah yang mengacu pada pertanian organik yang dipernalkan di
Indonesia saat ini adalah budidaya padi dengan metoda SRI (System of rice Intensification).
Budidaya padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut
pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan
tanah dan kesehatan pengguna produknya. SRI adalah teknik budidaya padi
yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan
tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan
produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari
100%.
Metode ini pertama kali
ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr.
Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30
tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya
dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat
SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification
disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk
Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI.
Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture
and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur,
didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina,
India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang
positif.
Hasil metode SRI sangat
memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya
2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8
ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20
ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan
metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka
untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman
diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat
dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara
memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Perbedaan pemupukan pada
sistem tanama padi dengan metode Sri dengan konvensoinal adalah adalah pada
sistem tanam konvensional pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk anorganik,
sedangkan pada metode SRI dengan hanya menggunakan pupuk organik.
KESIMPULAN
Pertanian konvensional
sekarang ini digunakan hampir di seluruh kegiatan pertanian yang ada di
Indonesia. Pertanian konvensional adalah praktik kegiatan budidaya pertanian
yang lahir dari evolusi hijau. Revolusi hijau menganjurkan perubahan dalam
praktik-praktik budidaya pertanian tradisional sebagai jawaban atas pemenuhan
kebutuhan produk pertanian yang semakin meningkat sejalan dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk.
usaha tani
padi konvensional merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan lingkungan dari
residu pupuk dan pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan, serta sebagai
penghasil gas rumah kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O, dan CO2,
khususnya di lahan sawah dan lahan rawa pasang surut
Sistem peranian organik yang
memanfaatkan pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman
terhadap lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi
lingkungan dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat
meningkatkan kwalitas tanah
. Daur ulang hara melalui
saran limbah tanaman, ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki
kesuburan dan struktur tanah dan meningkatkan produksi tanaman khususnya padi.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah. 2004. Efektifitas Pemupukan P dan K pada Lahan Bekas pemberian
Jerami Selama 3 Bulan 3 Musim Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. J. Sains &
Teknologi, Agustus 2004, Vol.4 No.2: 65-71.
Endah D. at all. Efektifitas Kompos Sampah
Perkotaan Sebagai Pupuk Organik Dalam Meningkatkan Produktifitas Dan Menurunkan Biaya Produksi
Budidaya Padi
Husin,
Y.A. 1994. Methane Flux from Indonesian Wetland Rice: The effects of water
management and rice variety. PhD Thesis, Bogor Agricultural University. p.
121−135.
Irsal L et al. 2006. Isu dan
Pengelolaan Lingkungan Dalam Revitalisasi Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
Jenal M. Budidaya dan
Keunggulan Padi Organik metode SRI. Junal Yayasan Universitas Garut.
Juarsah, I.
1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering
melalui pertanaman leguminosa. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Joko.2004.
Kajian Bahan Organik Pada Padi sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian jawa
Tengah. Agrosains 6(1):11-4, 2004.
Kasno, A., Suwandi, dan I. Anas. 2003. Usaha
mengurangi kadar logam berat melalui pengapuran pada tanah tercemar tailing.
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Listiawati R. 1995. Pengaruh Pemberian Bahan Organik
dan Nitrogen Terhadap Tanaman Padi Sawah Pada Tanah Grumusol Ngawi dan Aluvian
Serang. Skripas. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Baogor.
Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996.
Suppressing methane emission from rainfed lowland rice field in Jakenan,
Central Java. Paper presented at the International Symposium on Maximising
Sustainable Rice Yield through Improved Soil and Environmental Management, Khon
Kaen, Thailand.
Nurjaya. 2003. Identification and inventarization of
agrochemical pollution at vegetables production areas. Annual Report of
Research Station for Agricultural Environment Preservation, Jakenan.
Notohadiprawiro, T. 1989. Dampak Pembangunan Pada Tanah, Lahan dan
Tata Guna Lahan, PSL. UGM. Yogyakarta.
Reijntjes, S.J.,
D. Andow, M.A. Altieri. 1999. Pertanian masa depan, Pengantar untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.
Sugito, Y.
Nuraini, Y. dan Nihayati, E. 1995. Sistem Pertanian Organik. Faperta
Unibraw. Malang.
Suntoro Wongso Atmojo, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap kesuburan
Tanah dan Upaya Pengelolaanya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Sutanto, R.
2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatf dan Berkelanjutan. Kanisius.
Yogyakarta.
Tohari, 2006.
Pengaruh Nisbah Dosis Nitrogen pada Pemupukan Dasar-Susulan Pertama, dan Bobot
Inokulasi Azolla Terhadap pertumbuhan Azolla, Gulma dan Padi Sawah. Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM.
Taylor,
J.A., G.P. Brasseur, P.R. Zimmerman, and R.J. Cicerone. 1993. A study of
sources and sinks of methyl chloroform using a global three dimensional
Lagragian troposheric tracer transport model. J. Geophys. Res. 96: 3.013−3.044.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar