Pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian
yaitu kontribusi produk dalam sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
dan juga kontribusi pasar. Peran penting lainnya adalah dalam penyediaan
kebutuhan pangan manusia apalagi dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk
yang berarti bahwa kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat. Di
Indonesia sebagai Negara agraris, ada peran tambahan dari sektor pertanian
yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar sekarang berada
di bawah garis kemiskinan. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah
penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,147 juta orang, dan 21,265 juta
(58,8%) di antaranya bekerja di sektor pertanian.
Menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
dan adanya ancaman kerawanan pangan yang disertai dengan ancaman ketergantungan
terhadap pangan impor (food trap) serta masih banyaknya petani yang
masih berada dibawah garis kemiskinan maka perubahan menuju yang lebih baik
malalui pembangunan pertanian sangat diperlukan. Hakikat dari pembangunan
adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam pembangunan harus
berlandaskan pada pemerataan. Jadi bukan masalah peningkatan materi sebagai
tujuan yang pertama dan terutama. Demikian juga dalam pembangunan pertanian,
yang pertama-tama adalah bukan masalah peningkatan produksi pertanian melainkan
upaya pembebasan manusia petani, dan termasuk di dalamnya adalah peningkatan
kesejahteraan pada umumnya. Peningkatan produksi pertanian menjadi faktor yang
ada di dalamnya dan hasil yang mengikutinya.
6.1. Pengertian Sumber Daya
Sumber
bukan merupakan barang atau benda nyata tetapi fungsi suatu barang atau benda
nyata tetapi fungsi suatu barang atau benda yang dapat dianggap sebagai suatu
masukan dalam proses produksi didalam memenuhi kebutuhan bila mana dari segi
ekonomi. Sumber daya dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
6.1.1. Sumber daya alam
Sumber
daya alam (Natural resources) adalah unsure lingkungan alam baik fisik maupun
hayati yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan
meningkatkan kesejateraannya. Menurut sifat arus manfaatnya yang dapat
diperoleh sumber daya alam (natural resources) dapat dibagi atas:
a.
Sumber daya stock/stock atau sumber daya
alam yang tak dimanfaatkan, ketersediaannya tidak bervariasi secara nyata
menurut waktu atau ketersediaan sumber tersebut tidak bertambah atau tidak
berkurang menurut waktu. Jadi setiap
bentuk pemanfaatan sumber daya tersebut saat sekarang akan menurunkan
ketersediaannya dalam contoh minyak bumi, batu bara, gas bumi, emas, dan barang
tambang lainnya.
b.
Sumber daya flow dapat berupa sumber
daya dengan zone kritis/with critianl zona seperti hutan, ikan, satwa liar dan
tanah yang semuanya dapat menjadi habis jika pemanenanya melebihi daya produksi
atau melampaui batas kritis populasi yang disyaratkan. Aspek pengolaannya
merupakan hal yang sangat penting mengingat sumber daya alam jenis ini dapat
dipebaruhi jika pengolaanya dengan cara yang tepat. Contoh hutan, ikan, satwa
liar, tanah serta tanaman.
c.
Sumber daya flow yang tidak mempunyai
zone ini manfaatnya dapat diperoleh tidak terbatas menurut waktu akan terdapat
flow yang permanen atau disebut juga sumber daya yang tidak akan habis. Contoh
sinar matahari, angin, udara dan ombak laut.
6.1.2. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia adalah fungsi
manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan yang ada padanya. Karena
emasipasi manusia maka ia dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhannya termasuk kebudayaannya.
Untuk mencapai kesejateraan dan
makmuran harus diisi kebutuhan – kebutuhan diperlukan termasuk kebudayaan yang
juga tersedia dilingkungan berupa sember daya alam. Manusia harus meningkatkan
pontesi fungsinya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan seni dan
ilmu yang dimilikinya.
Namun demikian alam tidak
menyediakan semua yang diinginkan oleh manusia dengan mudah, bahkan terdapat
penghambat yang ditemukan manusia ini dapat dibagi menjadi :
a.
Resistensi yang berasal dari alam
Alam memiliki
resistensi yang harus diatasi manusia, jika manusia ingin memperoleh manfaat
yang optimal dari alam. Resistensi yang berasal dari ala mini terdiri dari
banjir, kebakaran, kekeringan, serangan hama/penyakit, lokasi yang sukar
dicapai.
b.
Resistensi yang berasal dari manusia
sendiri.
Terdiri dari kurang
melihat kedepan, misalnya manajemen, kebodohan dan ketamakan. Dengan
berkembangnya peradapan industry modern ditambah dengan tekanan penduduk, maka
kesulitan semangkin konpleks.
Untuk mengatasi semua resistensi tersebut baik yang
berasal dari alam maupun yang berasal dari manusia, maka manusia harus
mengembangkan kemampuan yang dimilikinya melalui pendidikan, latihan
pengalaman, perbaikan kesehatan dan lain – lain. Dengan kebudayaan yang ada,
manusia dapat menghasilkan alat untuk membantu menghasilkan barang kebutuhan
manusia. Dengan terpenuhinya semua kebutuhan yang diperlukan manusia untuk
mencapai kesejateraan dan kemakmuran, maka tercapai tujuan hidup manusia.
6.2.
Peran Pertanian dalam Sektor Ekonomi
Selama periode sepuluh tahun terakhir kontribusi pertanian
terhadap pendapatan nasional atau PDB Indonesia mengalami penurunan dari
sekitar 50% pada tahun 60-an menjadi 20,2% pada tahun 1997. Pada tahun 1998
kontribusi sector pertanian terhadap pendapatan PDB secara absolute masih
menurun, walaupun sector pertanian merupakan satu-satunya sector ekonomi yang
mengalami pertumbuhan (0,26%), diantara perpaduan seluruh sektor ekonomi yang
mencapai minus 14%.(data kontribusi pertanian-PDB)
Sebelum krisis ekonomi berlangsung, pertumbuhan sector
pertanian secara umum juga tidak secerah sector-sektor perekonomian lainnya,
yaitu tidak lebih dari 3% pertahun selama pelita V khususnya, sangat jauh jika
dibandingkan dengan sector industri yang mengalami pertumbuhan sampai 2 digit.
Pada tahun 1996, pertumbuhan sector pertanian juga masih berkisar 3% pertahun,
sedangkan pada tahun 1997 sektor pertanian juga masih belum mengalami lonjakan
pertumbuhan yang berarti atau tumbuh tidak sampai mencapai 3% (Arifin, 2001).
Teori ekonomi pembangunan modern umumnya sepakat bahwa
semakin berkembang suatu Negara, maka akan semakin kecil kontribusi sector
pertanian atau sector tradisional dalam PDB. Jika pendapatan meningkat, maka
proporsi pengeluaran terhadap bahan makanan akan semakin menurun. Dalam
istilah ekonomi, elastisitas permintaan terhadap makanan semakin kecil dari
satu atau tidak elastis (inelastic). Karena fungsi sektor pertanian yang
paling penting dalah untuk menyediakan bahan-bahan makanan, maka peningkatan
terhadap bahan makanan tidaklah sebesar permintaan terhadap barang-barang hasil
industri dan jasa. Dengan sendirinya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
akan semakin kecil dengan semakin besarnya tingkat pendapatan pada sektor
non-pertanian.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kontribusi sektor pertanian
dalam PDB khususnya dan gairah perekonomian pada umumnya, pemerintah harus
mampu menciptakan integrasi kebijakan industrialisasi nasional yang berbasis pada
pertanian. Kebijakan yang lebih memilih berpihak pada sector industri dengan
mengabaikan integrasi antara industri dan pertanian harus diubah. Pengambil
kebijakan selama ini menganggap bahwa pembangunan adalah identik dengan
pertumbuhan ekonomi sehingga kebijakan yang diambil juga, menurut Lypton dalam
Momose (2001), adalah bias perkotaan yang dicirikan: 1) mempriorotaskan
industri daripada pertanian, 2) pengalokasian sumberdaya yang lebih besar ke
masyarakat kota daripada masyarakat desa, 3) memprioritaskan industri daripada
pertanian.
Sebagai Negara agraris seharusnya sektor pertanian
diprioritaskan lebih dulu, jika industrialisasi akan dilakukan. Keberhasilan
sektor industri tergantung dari suatu pembangunan pertanian yang dapat menjadi
landasan pertumbuhan ekonomi. Menurut rahardjo (1990) ada dua alasan mengapa
sektor pertanian harus dibangun terlebih dahulu:
1. Barang-barang
hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat petani yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia, maka pendapatan mereka perlu ditingkatkan melalui
pembangunan pertanian.
2. Industri
juga membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sector pertanian dan karena itu
produksi hasil pertanian menjadi basis bagi pertumbuhan industri itu sendiri.
Alasan kedua diatas dapat memberikan petunjuk bahwa industri
yang cocok untuk Negara agraris adalah industri yang berbasis pada pertanian
atau agroindustri. Masing-masing industri harus mempunyai keterkaitan
antara hulu sampai ke hilir.
Kenyataan sekarang ini dari ketiga subsistem yang ada – hulu
(penyedia sarana produksi, onfarm/ (usahatani), dan hilir (pengolah
hasil)- dalam semua subsektor komoditi berjalan tersekat-sekat. Maing-masing
berjalan sendiri-sendiri dan memikirkan keuntungan sendiri. Sebagai pihak yang
lemah petani sering menjadi objek eksploitasi dari subsistem hulu dan hilir.
Contoh kasus, produk pertanian sering ditolak atau dihargai
murah oleh industri pengolahan hasil pertanian dengan alas an kandungan
pestisida yang tinggi atau lasan lain semisal tidak terpenuhinya kualitas. Pada
kasus pestisida sebenarnya sector hulu juga berperan dalam mendorong petani
menggunakan pestisida, bagaimana mereka mempromosikan produksnya untuk
digunakan dalam pemberantasan hama penyakit tanaman.
6.3.
Kebutuhan Pangan di Indonesia.
Produk lainnya seperti sayur, buah-buahan serta daging dari
tahun ke tahun angka impor terus naik (kompas, 2001). Impor pangan ini
diperkirakan akan semakin besar karena jumlah penduduk Dalam soal kecukupan
pangan Indonesia masih cukup beruntung. Hingga kini belum ada kasus kelaparan
yang meluas-kalaupun ada masih dalam sekala kecil meskipun kadang-kadang para
aparatur pemerintah setempat tidak mengakuinya. Tidak seperti di sejumlah
Negara di sub Sahara Afrika dan Asia lainnya yang penduduknya kesulitan mendapatkan
pangan. Tetapi keadaan Indonesia bukanlah akan selamanya aman-aman saja.
Ancaman kesulitan untuk mendapatkan pangan suatu saat bisa terjadi. Hal ini
dapat diprediksikan dengan adanya sejumlah fakta seperti pada tahun 1999 impor
gandum mencapai 3,5 juta ton, jagung 1,2 juta ton, beras 5 juta ton, kedelai
1,2 juta ton, gula pasir 1,7 juta ton dan berbagai Indonesia semakin meningkat.
Tabel
1. Perkembangan Konsumsi Pangan (update)
Komoditas
|
Kebutuhan
Nasional
|
Produksi
Dalam Negeri
|
Beras
Daging
Telur
Susu
Gula
Ayam
|
36 juta ton
6
juta ton
36
milyar butir
4,8
milyar liter
10
juta ton
3,2
juta ton
|
29 juta ton
2,
2 juta ton
12,6
milyar butir
1,2
milyar liter
1,9
juta ton
0,75
juta ton
|
Sumber:
HKTI dalam Kompas, 16 Oktober 2001
Bila tidak ada upaya penanganan maka defisit pangan akan
berlanjut dan bukan tidak mungkin kelaparan akan terjadi dimana-mana. Dalam
upaya untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional selama ini pemerintah cenderung
mengandalkan pangan impor. Produk pangan dari luar negeri masuk dengan harga
murah karena adanya subsidi yang besar bagi petani di Negara maju. Sebagai
contoh, Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic
Corporation and Development (OECD) menyediakan subsidi hingga 327 milyar
dollar AS. Nilai ini sama dengan dua kali dari ekspor produk pertanian
dari Negara berkembang atau limabelas kali dari produk domestic bruto sector
pertanian Indonesia (Kompas, 16 oktober 2001). Ditambah lagi dengan adanya
kebijakan pemerintah yang membebaskan bea masuk terhadap beberapa komoditas
seperti gula dan beras. Membanjirnya produk pangan luar negeri sungguh sangat
merugikan petani dan menguntungkan pedagang. Kehidupan petani semakin
terpurukkarena produk local mempunyai biaya produksi yang tinggi dan tanpa
subsidi (subsidi pupuk dicabut).
6.4.
Kemiskinan dan Petani
Kemiskinan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh
Negara-negara berkembang dan ini tidak bisa dipisahkan dengan masalah
pembangunan pertanian dan pedesaan karena sebagian besar penduduknya tinggal di
pedesaan yang basis perekonomiannya adalah pertanian. Indonesia hampir 60%
penduduknya adalah petani sehingga kesejahteraan petani menjadi indicator
sejahteranya mayoritas rakyat Indonesia. Begitu sebaliknya, keprihatinan
petani adalah keprihatinan bagian terbesar rakyat Indonesia.
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005
berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun
pada periode 2000-2005 (Tabel 2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin
meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada
tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin
meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.
Pada
periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 9,57 juta,
yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002.
Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43
persen pada tahun 1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002.
Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada periode
2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002 menjadi 35,10
juta pada tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20 persen pada
tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Tabel
2. Jumlah dan Persentase Penduduk
Miskin di Indonesia
Menurut
Daerah, 1996-2005
Tahun
|
Jumlah
Penduduk Miskin (Juta)
|
Persentase
Penduduk Miskin
|
||||
Kota
|
Desa
|
Kota +
Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota +
Desa
|
|
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
|
9.47
17.60
15.64
12.30
8.60
13.30
12.20
11.40
12.40
|
24.59
31.90
32.33
26.40
29.30
25.10
25.10
24.80
22.70
|
34.01
49.50
47.97
38.70
37.90
38.40
37.30
36.10
35.10
|
13.39
21.92
19.41
14.60
9.76
14.46
13.57
12.13
11.37
|
19.78
25.72
26.03
22.38
24.84
21.10
20.23
20.11
19.51
|
17.47
24.23
23.43
19.14
18.41
18.20
17.42
16.66
15.97
|
Sumber:
BPS, 2006
Salah satu indicator yang dapat dijadikan ukuran
kesejahteraan pertanian adalah INTP (Indeks Nilai Tukar Petani). INTP adalah
rasio indeks harga yang diterima petani dari pasar terhadap produksi
pertaniannya dengan indeks harga yang dibayar petani untuk mendapatkan sarana
produksi pertaniannya, dan barang serta jasa yang dikonsumsinya. Jika INTP
di atas 100 dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat petani lebih baik dari
tahun dasar atau dengan kata lain tingkat kesejahteraan petani lebih baik dari
tahun dasar. Namun jika di bawah 100, yang terjadi adalah sebaliknya,
kesejahteraan petani makin memprihatinkan dan cenderung semakin memprihatinkan.
Selama januari – September 2005 menunjukkan bahwa INTP baik di Jawa maupun di
luar Jawa rata-rata mengalami penurunan. Bahkan di Jawa INTP berada di bawah
100.
Masalah kemiskinan ini tidak dapat dipisahkan dari factor
penyebabnya. Sebagaimana masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan
natural, cultural, dan structural (Baswir, 1997). Kemiskinan natural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor alamiah. Kemisikinan cultural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya . Sedangkan kemiskinan
structural adalah kemiskinan yang disebabkan factor-faktor buatan manusia
seperti distribusi asset produkstif yang tidak merata, kebijakan ekonomi yang
cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.
Anggapan yang berlaku umum bahwa kemiskinan petani
disebabkan karena mereka bodoh, malas, banyak anak, mentalitas fatalistic,
ataupun karena tanah yang mereka miliki tidak subur. Kemiskinan mereka dianggap
bukan karena ketidakadilan. Tentu benar jika sebagian orang beranggapan bahwa
ada mentalitas dan budaya tertntu yang menyebabkan kemiskinan mereka. Tetapi
ada sebuah akar kemiskinan petani yang sulit dibantah yaitu faktor-faktor
structural. Mereka menjadi miskin karena menjadi bagian dari golongan
masyarakat. Jelaslah bahwa kemiskinan petani bukan karena datang dengan sendirinya
tetapi akibat dari struktur social yang menentukan kehidupan golongan mereka.
Pearse dalam Soetomo (1997) mengungkapkan:
1. Petani
kecil merupakan kelompok marginal karena keikutsertaannya dalam system social
yang telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya
sepenuhnya (a dependent powerless element).
2. pilihan-pilihan
petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani.
3. petani
terasing dari jaringan informasi actual mengingat keterbatasan kemampuan
kognitif mereka, system transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan
cultural serta posisi inferior dalam nteraksi pasar.
Menurut Krisnamurti (2001), kemiskinan petani karena politik
ekonomi pertanian sekian lama menempakan pertanian di kelas dua. Belum lagi
hak-hak petani tidak pernah dilindungi, konservasi lahan terus terjadi,
infrastruktur irigasi diserobot untuk kepentingan nonpertanian.
Pemerintah dengan pola yang tidak berubah merangsang petani
untuk memproduksi beras dengan jalan menaikkan harga dasar gabah. Dari tahun ke
tahun memang harga dasar gabah dianaikkan,tetapi kenaikan harga dasar gabah
tidak begitu berpengaruh juga karena setiap kenaikan harga dasar gabah juga
diikuti naiknya pupuk urea. Seperti terlihat pada table 3.
Tabel
3. perkembangan harga dasar gabah dan harga urea tahun 1984-2005
Tahun
|
Padi
|
Urea
|
Rasio
|
1984-1986
1989/90
1996/97
1997/98
1998/99
1999/2000
2000/2001
2001/2002
2002/2003
2003/2004
2004/2005
|
70
230
450
525
1000
1500
1500
1500
1500
1725
1725
|
100
180
330
400
450
1115
1150
1150
1050
1050
1050
|
0.70
1.28
1.36
1.31
2.22
1.35
1.30
1.30
1.43
1.64
1.64
|
Sumber:
APPI, 2006
Fenomena tersebut jelas bahwa mekanisme perbaikan taraf
hidup petani belum berlangsung baik karena disatu sisi harga dasar gabah naik
namun di sisi lain harga pupuk juga naik. Belum lagi petani harus berhadapan
dnegan melinjaknya harga bahan makanan dan barang kebutuhan lain yang bergerak
begitu cepat di pasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar