Saat ini indonesia mengalami krisis multidimensi, belum lagi bencana yang datang silih berganti. Krisis moneter, finansial dan krisis pangan berdampak negatif terhadap berbagai sektor lainnya (ekonomi, sosial, politik), ditambah masalah lingkungan yang tak kunjung mereda dan menjadi sorotan.
Kesulitan yang berkaitan dengan kerusakan hutan diperkuat oleh adanya isu pemanasan global (global waming) sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara tertuduh menyumbang emisi yang cukup besar dan telah menjadi bahan diskusi yang terus dilakukan baik dalam skala nasional maupun internasional, seperti yang dibahas pada akhir tahun 2007 di Bali dalam konferensi para pihak – 13 (COP-13).
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini diakibatkan terganggunya keseimbangan energi antara bumi dengan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas CO2, CH4 dan N2O yang lebih dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) yang mengakibatkan pemansan global. Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan ekosistem. Pemanasan bumi yang bersifat menyeluruh tersebut menjadi salah satu penyebab pergeseran iklim dengan musim hujan dan kemarau yang lebih panjang dari biasanya (contoh : lanina dan elnino). Kondisi tersebut menyebabkan kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor. Dampak lanjutan dari pemanasan global dapat berupa berkurangnya penyediaan air bersih, penurunan berkelanjutan fungsi agronomi dan fungsi sosial ekonomi suatu bentangan lahan
1.
Agroforestry
adalah suatu system penggunaan lahan yang bertujuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan hasil total secara lestari.
2.
Pencapaian
tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara mengkombinasikan tanaman berkayu
(pohon) dengan tanaman pangan atau tanaman pakan ternak.
3.
Usahanya
dilaksanakan pada sebidang lahan yang sama, baik secara bersamaan waktunya atau
secara bergantian.
4.
Pelaksanaan
agroforestry (management) harus disesuaikan dengan latar belakang sosial dan
budaya setempat, kondisi ekonomi dan kondisi ekologi setempat.
5.
Lahan
yang diusahakan untuk agroforestry berada dalam satu unit management yang sama.
Jadi,
agroforestri adalah suatu system penggunaan lahan yang bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan hasil total secara lestari, dengan cara
mengkombinasikan tanaman pangan/pakan ternak dengan tanaman pohon pada sebidang
lahan yang sama, baik secara bersamaan atau secara bergantian, dengan
menggunakan praktek-praktek pengolahan yang sesuai dengan kondisi ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Menurut Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry
sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara
bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang
bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara
sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. (Sa’ad, 2002)
Reijntjes, (1999), menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan
tanaman kayu tahunan secara seksama (pepohonan, belukar, palem, bambu) pada
suatu unit pengelolaan lahan yang sama sebagai tanaman yang layak tanam, padang
rumput dan atau hewan, baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau
ditempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.(Sa’ad,
2002)
King and Chandler, (1978) dalam Andayani,
(2005) mendefinisikan agroforestry adalah ; Suatu system pengelolaan lahan yang
lestari untuk meningkatkan hasil, dengan cara memadukan produksi hasil tanaman
pangan (termasuk hasil pohon-pohonan) dengan tanaman kehutanan dan/atau
kegiatan peternakan baik secara bersama-sama maupun berurutan pada sebidang
lahan yang sama, dan menggunakan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan pola
kebudayaan penduduk setempat.
King (1978) dan Koppelman dkk., (1996) seperti
yang dikutip Sa’ad (2002) menyebutkan bahwa sistem agroforestry dapat
dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi
lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara
pengelolaannya.
Jenis Agroforestri
Dalam
Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau
agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan
pertanian.Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestri dapat
dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan
sistem agroforestri kompleks.
1. Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem
agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan
ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman
semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman
pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris
dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.Jenis-jenis pohon yang ditanam
juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet,
cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau
yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis
tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo),
jagung, kedelai, kacangkacangan,ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau
jenis-jenis tanaman lainnya.Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak
dibahas di Jawa adalah tumpangsari (Bratamihardja, 1991). Sistem ini,
dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang diwajibkan di areal
hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari
Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman
semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh
petani,namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan
semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi
dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah
naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu
bahan bangunan (timber) saja,sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam
dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana
tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial (Siregar, 1990).
Dalam
perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari
beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Sebagai contoh, kebun
kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina) atau kelorwono
disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur
tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang
adalah menanam kopi pada hutan pinus.
2. Sistem Agroforestri
Kompleks: Hutan dan Kebun
Sistem
agroforestri kompleks,
adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyakjenis tanaman pohon
(berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami
pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem
menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon,
juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan
dalam jumlah banyak.Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah
kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan
alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat
pula disebut sebagai AGROFOREST (ICRAF 1996).
Berdasarkan
jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks ini dibedakan
menjadi dua,
yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang
letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya
disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta,
2000). Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau hutan karet’
di Jambi.
Produktivitas
Produk yang dihasilkan sistem
agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung
menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar,
serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan
bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan
tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb. Peningkatan produktivitas
sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani dan masyarakat desa.
Peningkatan produktivitas
sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan
sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya,
termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian,
keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek
seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan
mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.
Perbaikan (peningkatan)
produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau
diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah
masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi
yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:
penggunaan pupuk nitrogen dapat
dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen sistem
agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih
rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem perkebunan
monokultur.
Sasaran keberlanjutan sistem
agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun
kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi
pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga
merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi
pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk menerapkan upaya
konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan
sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi insentif untuk
mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan
dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara
berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti
teknikteknik konservasi lahan.
Dalam sistem agroforestri
terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan
yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan
produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Kemudahan Untuk Diadopsi
Kegagalan penyebarluasan
praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan
strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu
alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh
sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa
dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan
memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap
rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar,
melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat
kompleks.
Peluang untuk berhasil akan
lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat
diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai
(user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan
teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan
perbaikan rancangan inovasi teknologi.
Perlu dipahami bahwa
agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi
keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang
dapat dipilih oleh petani sesuai dengan keinginannya. Apa yang dibutuhkan
adalah cara yang sistematis untuk memadukan (matching) kebutuhan teknologi
agroforestri dengan potensi sistem penggunaan lahan yang ada.
Saya ingin berbagi di sini tentang bagaimana Tuan Pedro memberi saya pinjaman sebesar £820.000,00 untuk memperluas bisnis saya dengan tingkat pengembalian tahunan 2%. Saya sangat bersyukur dan saya pikir saya harus membagikannya di sini. Berikut alamat emailnya: pedroloanss@gmail.com / WhatsApp +393510140339 jika ada di sini yang mencari suku bunga pinjaman yang terjangkau.
BalasHapus