PENYIMPANAN
KARBON DALAM TANAH
Alternatif
Carbon Sink dari Pertanian Konservasi PESTISIDA SEBAGAI PENERAPAN PENGELOLAAN HAMA TERPADU
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
termasuk salah satu negara berkembang pertama yang sudah merampungkan the
first national communication dan sudah diserahkan ke sekretariat UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change) bersamaan
dengan diselenggarakannya Conference of Patries V (COP V)
pada bulan November tahun 2001. Sebagai salah satu negara yang ikut
meratifikasi UNFCCC, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan
upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat
terjadinya perubahan iklim global. Upaya-upaya tersebut antara lain : Indonesia
harus melakukan inventarisasi gas-gas rumah kaca secara nasional. Inventarisasi
yang dimaksud meliputi emisi gas-gas rumah kaca yang berasal dari
sumber-sumbernya (energi, hutan, pertanian, dsb.) dan penyerapannya oleh
rosotnya (sink) seperti penyerapan gas CO2 oleh hutan.
Disamping itu informasi lain yang harus dikomunikasikan adalah langkah-langkah
yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mengurangi emisi gas-gas
rumah kaca dan meningkatkan kemampuan penyerapannya oleh rosotnya. Dokumen yang
memuat hal-hal tersebut dikenal dengan dokumen National Communication on
Climate Change.
Untuk melakukan
inventarisasi gas-gas rumah kaca yang akan dimuat dalam the first national
communication dipersyaratkan untuk menggunakan data tahun 1994 sebagai
dasar perhitungan (base year). Agar dapat diperbandingkan dengan
negara-negara lain maka inventarisasi dilakukan dengan metoda IPCC 1996
(Intergovernmental Panel on Climate Change). Metoda ini menggunakan
berbagai asumsi dan emisi faktor yang tidak terlalu cocok untuk negara
Indonesia. Namun demikian karena Indonesia belum memiliki metoda perhitungan
sendiri maka tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan metoda IPCC 1996.
Adapun gas-gas
rumah kaca yang dianggap paling berkontribusi terhadap gejala pemanasan global
adalah CO2, CH4, N2O, NOX, CO, PFC dan SF6.
Namun untuk Indonesia dua gas yang disebut terakhir masih sangat kecil
emisinya, sehingga tidak diperhitungkan. Dari kelima gas-gas rumah kaca
tersebut, CO2 memberikan kontribusi terbesar terhadap pemanasan
global yaitu 82 % dan CH4 memberikan kontribusi 15 %. Tahun 1994
tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat
penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter. Hasil
perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink
atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya
Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca secara global di atmosfer.
Tanah merupakan
penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting
dalam siklus karbon global. Tanah menyimpan sekitar 1400 x 1015 gC
(pada skala global) dan merupakan dua kali lipat biomasa hidup ataupun karbon
atmosfer (Post et al, 1990). Penyerapan karbon oleh tanah merupakan salah satu
cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di dalam atmosfer,
sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim (climatic change).
Penyerapan karbon ke tanah termasuk pengurangan karbon atmosfer yang diterima
dibawah Kyoto Protocol.
Penyimpanan
karbon dalam tanah merupakan penyimpanan karbon dalam bentuk yang relatif
stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun
tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa
inornagik kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung
melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer
menjadi biomasa tanaman. Secara berangsur biomasa tanaman ini secara tidak langsung
tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah
karbon yang tersimpan pada tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah
dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon.
Banyak metode agronomi, kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan
lahan yang dapat meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Lahan tanaman
budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi
maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat
dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti
pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan
erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan
terdegradasi. Konservasi lahan marginal untuk hutan dan padang penggembalaan
dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah.
IKLUS KARBONSiklus Karbon Global
Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua
bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer
yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer
karbon dari berbagai reservoir (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan sumber
karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun
demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).
Tabel 1. Karbon di dalam
berbagai reservoir dari siklus global
Lokasi
|
Satuan
C (ton x 1010)
|
|
Udara
|
CO2-atmosfer
|
70
|
Darat
|
Biomass
|
59
|
|
Bahan
organik tanah
|
85
|
|
Produksi
bersih/tahun
|
6,3
|
|
Pelepasan
dari fosil
|
0,5
|
Laut
|
Bomass
|
0,3
|
|
C-organik
terlarut
|
100
|
|
C-anorganik
(HCO3)
|
3.500
|
|
Produksi
bersih/tahun
|
45
|
Sedimen
|
C-anorganik
(HCO3)
|
2.000.000
|
|
Batu
bara dan minyak
|
1.000
|
Sejumlah besar
kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan
tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah
terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence
time) karbon di dalam atmorfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer
berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman
dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan
dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon
dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997).
Dari hasil
inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC
1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah
748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar
61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2
oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun
1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat
penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar
383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada
tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat
penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah
memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara
global di atmosfer.
Turnover Karbon Organik Tanah pada
Berbagai Ekosistem
Karbon organik
yang berada dalam berbagai ekosistem mempunyai turnover yang berbeda-beda
tergantung pada jenis tanaman / ekosistem dan pengelolaan yang dilakukan
(misalnya pupuk dan tanpa pupuk) seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2. Pada
hutan tropik produksi dan karbon yang masuk ke tanah paling tinggi, tetapi
dengan turnover yang paling cepat menyebabkan C-tanahnya juga lebih tinggi
bila dibandingkan dengan ekosistem gamdum.
Pembukaan hutan
menjadi areal pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah.
Perubahan ekosistem hutan menjadi areal pertanian juga mengakibatkan terhadap
penurunan produksi C-organik dan jumlah C yang masuk kedalam tanah sehingga
terjadi penurunan kabon tanah secara drastis pada tahun-tahun awal konversi.
Tabel 2. Turnover karbon organik dari beberapa
ekosistem.
Ekosistem
|
Produksi/tahun
(ton/ha)
|
C-yang
masuk kedalam tanah /tahun (ton/ha)
|
C-tanah
(ton/ha)
|
Turnover
(Tahun)
|
Gandum :
|
|
|
|
|
- Tanpa pupuk
|
2.6
|
1.2
|
26
|
22
|
- Pupuk
|
5.1
|
1.9
|
30
|
16
|
Prairi
|
2.8
|
1.7
|
52
|
31
|
Savana lembab
|
5.0
|
1.5
|
56
|
37
|
Hutan tropik
|
9 – 10
|
4.9
|
44
|
9
|
Hutan temperate
|
7.1
|
2.4
|
72
|
30
|
Sejarah Kehilangan Karbon
Tanah merupakan
pol karbon yang penting didunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1Pg = petagram
= 1 milyar ton) dan 800 – 1.000 Pg sebagai karbon inorganik tanah dalam bentuk
karbonat (Eswaran et al, 1993). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi
dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan. Konversi hutan dan
padang rumput menjadi areal budidaya tanaman dan peternakan mengakibatkan
hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang rumput dan hutan mengalami
kehilangan karbon organik tanah 20 – 50 % kandungan awalnya setelah diolah
selama 40 – 50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering
berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensiv,
penggunakan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya
perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Cole et al,
1993 dan Lal, 1995).
Perkiraan
kehilangan karbon organik tanah pada masa lalu dari lahan pertanian di dunia (crop
lands) berkisar dari 41 Pg (Houghton and Skole, 1990) hingga 55 Pg (Cole,
1996). Perkiraan kehilangan karbon organik tanah di atas menjadi level acuan (reverence
level) terhadap potensial tingkat pemulihan atau penyerapan karbon kembali
oleh tanah pada lahan pertanian dengan perbaikan pengelolaan. Dengan asumsi
penyerapan kembali 50 % dari kehilangan karbon organik pada masa lampau,
potensial penyerapan kembali tanah pertanian di dunia dalam 50 – 100 tahun
mungkin pada tingkat 20 – 30 Pg (Cole, 1996). Jumlah tersebut sama dengan 7 –
11 % emisi dari pembakaran bahan bakar fosil pada tahun 1990, selama 50 tahun.
Kecepatan Perubahan Karbon
Tanah
Sebagian besar
kehilangan karbon dari tanah pertanian terjadi selama dekade awal setelah
pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan karbon menurun sejalan
dengan semakin menurunnya pol karbon yang mudah terdekomposisi dan adanya
perbaikan secara berangsur pengelolaan lahan. Sebagai konsekuensinya, sebagian
besar tanah-tanah pertanian sekarang hampir hampir netral dalam kaitannya
dengan emisi atau penyerap karbon. Berdasarkan simulasi komputer (Smith et al,
1997) menghasilkan bahwa kehilangan karbon organik dari tanah pertanian di
Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan rata-rata kehilangan
tersebut terus menurun. Evaluasi terhadap tanah-tanah pertanian di Amerika
Serikat (Donigan et al, 1997) menyimpulkan bahwa kehilangan karbon telah
berkurang dan tanah sekarang sudah mulai mengakumulasi karbon kembali. Penemuan
ini dan dengan analisis tanah langsung dari peneliti lain, memberikan gambaran potensial
untuk mencapai kembali tingkat kandungan karbon masa lalu yaitu transformasi
tanah dari penghasil menjadi penyerap untuk CO2 atmosfer.
METODE PENINGKATAN PENYERAPAN KARBON
Metode Peningkatan Karbon
Tanah
Penyerapan
karbon merupakan penyimpanan karbon dalam tanah dalam bentuk yang relatif
stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun
tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa
inornagik kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung melalui
photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi
biomasa tanaman. Secara berangsur biomasa tanaman ini secara tidak langsung
tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah
karbon yang tersimpan pada tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah
dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon.
Banyak metode agronomi, kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan
lahan yang dapat meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Untuk
meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah, metode pengelolaan lahan yang baru
haruslah : 1) meningkatkan jumlah karbon masuk ke dalam tanah dalam bentuk
residu tanaman, atau 2) menekan kecepatan dekomposisi bahan organik tanah.
Pertama merupakan merupakan fungsi dari produksi tanaman dan proporsi produksi
tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah sebagai serasah ataupun residu
tanaman. Kecepatan dekomposisi dikontrol oleh keadaan lingkungan tanah seperti
suhu, kelembaban, ketersediaan oksigen dan komposisi bahan organik, posisi
bahan organik dalam profil tanah dan tingkat perlindungan secara fisik dalam
agregar tanah.
Penyimpanan
karbon di dalam tanah berubah karena erosi, yang menyebabkan redistribusi
karbon pada lansekap. Pemecahan agregat menyebabkan peningkatan mineralisasi
bahan organik yang sebelumnya terlindung dalam agregat. Bahan tererosi yang
terdeposisikan pada suatu lansekap atau di dalam sistem perairan tidak semuanya
dapat dianggap sebagai karbon yang hilang ke atmosfer. Untuk alasan yang sama,
karbon tanah yang dapat dipertahankan dari penurunan erosi tidak dapat dihitung
seluruhnya sebagai transformasi dari CO2 atmorfer.
Peningkatan Karbon pada Lahan
Pertanian
Banyak strategi
untuk meningkatkan karbon dalam tanah pertanian telah diidenfikasi (Tabel 3).
Strategi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat pendekatan utama : 1)
mengurangi intensitas pengolahan tanah, 2) intensifikasi sistem pertanaman, 3)
adopsi metode peningkatan hasil, seperti perbaikan sistem pemupukan, dan 4) penggunaan
tanaman tahunan.
Penurunan Intensitas
Pengolahan Tanah
Pengolahan
tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon karena beberapa mekanisme : 1)
merusak agregat tanah yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi, 2)
menstimulasi aktivitas mikroba dengan perbaikan aerasi tanah, 3) mencampur
bahan organik segar kedalam tanah yang kondisinya lebih menguntungkan untuk
dekomposisi daripada dipermukaan tanah. Pengolahan tanah dapat menyebabkan
tanah lebih mudah tererosi, mengakibatkan kehilangan karbon melalui erosi.
Adopsi pengolahan tanah minimum dan tanpa olah tanah menghasilkan akumulasi
karbon tanah (Lal et al, 1998a dan Paustin et al, 1997b). Peningkatan karbon
tanah dengan pengurangan pengolahan tanah ini juga dapat meningkatkan produksi
melalui perbaikan retensi air/kelembaban tanah.
Tabel
3. Praktek pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan karbon tanah
Praktek
Pengelolaan (per unit area)
|
Kelayakan
*)
|
Relatif
perolehan karbon
|
Lahan
Pertanian
|
|
|
-Adopsi
minimum/tanpa olah tanah
|
T
|
S
(areal luas)
|
Perbaikan
nutrisi tanaman dan peningkatan produksi
|
T
|
R
|
-Rotasi
dengan tanaman pakan ternak
|
S
|
S
|
-Perbaikan
varietas
|
S
|
S
|
-Amandemen
bahan organik
|
S
|
S
|
-Irigasi
|
R
|
T
|
Lahan
yang divegetasikan kembali
|
|
|
-Rumput
tahunan
|
R
|
T
|
-Vegetasi
penutup tanah
|
T
|
T
|
-diubah
ke woodland
|
R
|
T
|
Padang
gembalaan
|
|
|
Perbaikan
cara gembalaan
|
S
|
S
|
-Aplikasi
pupuk
|
T
|
S
|
-Penggunaan
spesies/varietas unggul
|
S
|
S
|
-
Irigasi
|
R
|
S
|
Lahan
terdegradasi
|
|
|
-Diubah
ke vegetasi awal
|
S
|
T
|
-Ditanami
fast growing crop
|
S
|
T
|
-Aplikasi
pupuk
|
T
|
S
|
-Aplikasi
amandemen pupuk organik
|
S
|
T
|
-Drainase/pencucian
tanah salin
|
R
|
R
|
Keterangan
: T = Tinggi, S=sedang, R=rendah
Intensifikasi Sistem
Pertanaman
Banyak sistem
pertanaman dapat diintensifkan untuk meningkatkan aktivitas photosintesis.
Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan, semak dan terutama
pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena tanaman tersebut
meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih
besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem
pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah,
tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui pendinginan akibat penaungan.
Aplikasi Tindakan Agronomi
Aplikasi
pemupukan dan pemberian amelioran bahan organik meningkatkan penyerapan karbon
dengan peningkatan produksi dan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah
(Paustian et al, 1997b). Tindakan agronomi yang lain yang mampu meningkatkan
produksi termasuk perbaikan varietas tanaman, pengendalian hama yang lebih
baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien, dan perbaikan pengelolaan air
dapat meningkatkan karbon tanah dengan menyediakan jumlah residu yang lebih
besar yang dapat dikembalikan ke dalam tanah.
Revegetasi Lahan
Pertanian
dengan tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan
karbon tanah. Peningkatan karbon tanah disebabkan karena minimnya kerusakan
fisik tanah akibat pengolahan dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik
dari pol di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah (Paustin et al,
1997b). Besarnya akumulasi karbon sangat bervariasi tergantung pada kondisi
tanah, iklim dan vegetasi.
Quideau et
al (1998) dalam penelitiannya menggunakan lisimeter mendapatkan bahwa
setelah empat dekade perkembangan tanah pengikatan karbon berkisar antara 5.552
– 17.561 g/m2 dan yang terakumulasi di dalam profil tanah 0-1 meter
sebesar 900 – 3.800 g/m2 (Tabel 4). Pengikatan karbon di atas tanah
dan di dalam profil tanah berbeda antara vegetasi capparal (Oak, Ceanothus
dan Chamise) dengan pinus, dimana Capparal yang berdaun lebar
menghasilkan karbon organik yang lebih tinggi di bagian atas tanah dan di dalam
horison A, sedangkan pinus menghasilkan konsentrasi bahan organik yang lebih
tinggi di horison bawah.
Tabel 4. Perubahan karbon organik (g
m-2) pada empat lisimeter selama empat dekade
Karbon
organik
|
Biomasa bag. Atas tanah
Batang Ranting
|
Serasah
|
Tanah
(0-1m)
|
Total
|
|
Pinus
|
13.729
|
1.250
|
518
|
2.030
|
17.527
|
Oak
|
12.009
|
1.302
|
490
|
3.760
|
17.561
|
Ceanothus
|
4.808
|
602
|
408
|
1.398
|
7.216
|
Chamise
|
2.750
|
578
|
322
|
902
|
4.552
|
Walapun revegetasi dari lahan pertanian dengan tanaman
pohon-pohonan dapat menyerap karbon sangat tinggi per unit lahan, tetapi
memerlukan pengurangan area produksi tanaman semusim. Hal ini merupakan kendala
penerapannya dalam skala yang luas untuk penyerapan karbon.
Peningkatan Karbon pada Padang Gembalaan
Tanah yang telah mengalami penurunan karbon tanahnya pada
masa lalu akibat pengelolaan yang kurang baik, telah diolah dan digunakan untuk
produksi tanaman semusim akan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk penyerapan
karbon. Faktor pengelolaan lahan akan mempengaruhi tingkat kandungan karbon di
dalam tanah.
Pada padang penggembalaan yang dikelola dengan baik, dimana
produktivitas dan pengelolaan input relatif tinggi, terdapat peluang untuk
meningkatkan karbon tanah. Praktek pengelolaan yang dapat meningkatkan karbon
tanah pada padang gembalaan yaitu melalui rotasi penggembalaan dan penggunaan
pupuk, irigasi dan penggunaan benih dari spesies yang unggul.
Peningkatan Karbon pada Lahan Terdegradasi
Problem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parak
di daerah tropis dari pada temperate, di daerah kering dari pada daerah basah,
dan iklim panas dari pada dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah
terdegradasi sekitar 2 miyar hektar dan 75 % berada di daerah tropis (Oldeman,
1994). Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi
tanah yang dipercepat, salinisasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas
perkotaan, penggembalaan berlebih dan kontaminasi dari polutan industri (Lal,
1997).
Perbaikan terhadap lahan terdegradasi meliputi penanaman
dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh,
penggunaan pupuk organik dan anorganik, Apabila bahn organik tanah keadaannya
telah mengalami penurunan yang sangat drastis, sedangkan kemampuan tanah untuk
mengikat bahan organik masih berfungsi maka perbaikan dengan peningkatan bahan
organik tanah. Tingkat penyerapan karbon melalui resptorasi tanah sangat
ditentukan oleh sifat-sifat tanah, metode restorasi yang dilakukan,
karakteristik eko-regional, dan pol karbon organik awal di bawah kondisi
alaminya.
POTENSIAL PENYIMPANAN KARBON
Lahan Pertanian
Tingkat perolehan karbon setelah mengadopsi metode perbaikan
pengelolaan tanah sangat bervariasi tergantung jenis tanah, Hasil dari 27
penelitian di Amerika mendapatkan bahwa peningkatan karbon dalam tanah pada
tanpa olah dibanding cara konvensional setelah 5 – 20 tahun berkisar dari –4
sampai + 10 juta gram per hektar (rata-rata + 3 x 106 g/ha) (Paustian
et al, 1997b).
Variasi
respon disebabkan oleh beberapa faktor :
- Status
karbon tanah awal. Tanah yang telah mengalami penurunan secara drastis
karbon tanahnya karena pengelolaan yang kurang baik di masa lampau,
memberikan potensial penyerapan karbon di dalam tanah yang lebih besar
jika tanah dikelola dengan lebih baik.
- Kondisi
iklim. Tingkat penyerapan karbon jauh lebih tinggi di lingkungan dengan
produktivitas yang tinggi. Tingkat penyerapan karbon terhambat di dalam
lingkungan yang produktivitasnya terhambat karena iklim yang dingin
ataupun iklim yang kering.
- Variabel
agronomi. Jumlah karbon yang dapat diperoleh sebagai respon dari
pengelolaan tanah-minimum dan tanpa olah tanah ditentukan juga oleh
praktek agronomi yag lain seperti aplikasi pemupukan dan cara penanaman.
Disamping respon yang bervariasi, rata-rata akumulasi karbon
dapat diperkirakan dengan akurasi yang dapat diterima dari data jangka panjang
sekitar 0.3 Mg/ha/th. Untuk memperkirakan potensial akumulasi karbon di dalam
tanah selama dekade awal hingga 2020, dengan asumsi menerapkan teknik
konservasi karbon., pada lahan tidak terdegradasi dengan hambatan iklim kering
dan dingin sebesar 0.2 Mg/ha/th, sedangkan pada pada tanah yang lain tanpa
hambatan iklim sebesar 0.4 Mg/ha/th. Di Amerika dan Kanada total penyerapan
karbon tanah pertanian yang tidak terdegradasi 765 Tg C selama dua dekade.
Lahan yang Dikonversi
Pada lahan yang dikonversi dari lahan pertanian menjadi
padang rumput atau ditanami tanaman tahunan penutup tanah umumnya menghasilkan
penyerapan karbon yang tinggi. Dari 14 Mha lahan yang ditanami rumput atau
tanaman tahunan sejak 1985 - 1995 di Amerika bagian Tengah dan Barat
menunjukkan tingkat penyerapan karbon rata-rata 0.10 – 0.40 Mg/ha/th bahan
organik tanah dan 0,25 –1,35 Mg/ha/th total karbon di dalam tanah, termasuk
perakaran (Paustin et al, 1995 dan Gomez, 1995). Tingkat akumulasi karbon akan
menurun dengan waktu, sebagian besar penyerapan karbon dalam bentuk akar dan
serasah tanaman.
Berdasarkan perkiraan ini dan nilai lain dalam literatur
(Paustian et al, 1997b), memperkirakan bahwa rata-rata tingkat penyerapan
karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan
sekitar 0.8 Mg/ha/th di dalam awal setelah konversi. Di daerah tropika
penanaman lahan pertanian dengan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan
penyerapan karbon 250 – 500 kw/ha dalam jangka waktu 4 – 12 bulan tergantung
pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 1989), seperti yang
disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5.
Rata-rata jumlah bahan organik bagian atas tanaman penutup tanah
(Arsyad, 1989).
Jenis tanaman penutup
|
Jumlah bahan organik (kw/ha)
|
Jangka waktu (bulan)
|
1. Colopogonium
muconoides
|
200
|
5
– 6
|
2. Centrocema
|
400
|
4
– 5
|
3. Mimosa
|
300
|
7
– 8
|
4. Crotalaria
|
500
|
6
– 10
|
5. Tepohrosia candida
|
400
|
8
– 10
|
6. Leucaena glauca
|
250
|
12
|
TEKNIK MEMPERKIRAKAN
POTENSIAL PENYERAPAN KARBON
Pengukuran Langsung
Penentuan
penyerapan karbon oleh tanah secara langsung dilakukan dengan cara mengukur
perubahan karbon di dalam tanah menurut waktu. Pengukuran langsung sangat rumit
karena adanya variasi kandungan karbon tanah secara temporal dan spasial, serta
perubahan yang relatif lambat dari kandungan karbon tanah. Karbon tanah dalam
skala lapang bervariasi menurut variasi topografi dan bahan induk ataupun
karena perbedaan vegetasi dan sejarah pengelolaan. Walaupun di dalam lahan yang
kelihatannya seragam, kandungan karbon organik tanah dapat bervariasi sebesar
100 % (Elliot, 1994). Proses pertumbuhan tanaman dan dekomposisi menurut musim
dapat menyebabkan variasi temporal fraksi karbon, dalam akar, serasah dan
biomasa mikrobiologi. Perubahan jangka pendek (seperti, tahunan) dalam karbon
total akan sulit atau tidak mungkin dideteksi berkaitan dengan jumlah karbon
yang sudah ada di dalam tanah yang sangat besar.
Problem yang
banyak tersebut di atas dapat diatasi melalui penggunaan desain pengambilan
sampel dan prosedur analisis uang baik yang dapat meminimumkan efek variasi
spasial dan temporal serta menstandarkan penyiapan sampel tanah. Pengukuran fraksi
karbon tanah tertentu mungkin berguna sebagai indikasi awal perubahan (Lal,
1997), walaupun masih diperlukan periode monitoring pada beberapa tahun untuk
verifikasi perubahan total karbon tanah.
Sebagian besar
perubahan karbon tanah di dalam tanah pertanian dihasilkan dari percobaan
lapang dalam jangka waktu yang lama (Paul et al, 1997). Dengan perlakuan yang
didesain secara ramdom, perbedaan dalam karbon tanah secara statistik berbeda
sebagai fungsi perbedaan praktek pengelolaan pertanian. Secara umum, pengukuran
langsung karbon tanah akan memberikan manfaat paling tinggi pada skala lapang (farm),
tetapi dapat membantu di dalam verifikasi estimasi dalam skala regional maupun
nasional.
Permodelan
Permodelan
matematis dinamika karbon tanah relatif sudah berkembang dengan sangat baik,
kususnya untuk tanah pertanian. Beberapa model telah digunakan untuk
menginvestigasi variasi karbon organik tanah pada berbagai region dan lansekap
sebagai fungsi dari iklim, vegetasi, topografi, tanah dan faktor lingkungan yang
lain. Karbon tanah berubah sebab perubahan praktek pengelolaan (seperti
pengolahan tanah, tipe tanaman dan rotasi, pemupukan dan aplikasi ameloran
bahan organik) telah dapat dimodelkan dengan baik.
Model simulasi
yang sudah secara luas dipergunakan, sebagian besar mengkonsepkan bahan organik
tanah ke dalam 3 – 4 fraksi berdasarkan variasi sifat fisik dan kimia yang
mempengaruhi tingkat turnover-nya, seridu tanaman dibagi menjadi 2 – 5
fraksi yang bervariasi di dalam kemudahan terdekomposisi. Faktor-faktor
lingkungan yang mengontrol karbon organik tanah di dalam sebagian besar model
meliputi temperatur dan kelembaban tanah, aerasi dan drainase tanah, tekstur
dan mineralogi tanah. Tingkat input bahan organik berupa residu tanaman, pupuk
organik dan aplikasi yang lain merupakan penentu utama tingkat karbon organik
tanah.
Beberapa model
mensimulasikan pertumbuhan tanaman dan input residu secara langsung, sedangkan
yang lain memerlukan secara spesifik tingkat penambahan bahan organik sebagai
input ke dalam model. Penggunaan model beragam dalam aplikasi dari level lapang
(field level) (Jenkinson et al, 1987), hingga level regional (Parton et
al, 1987) dan tingkat global (King et al, 1996).
Kelly et al
(1997) mendapatkan bahwa Century SOM Model telah berhasil mensimulasikan
karbon organik tanah dengan baik pada sebaran iklim dan penggunaan lahan yang
bervariasi dengan dibandingkan eksperimen jangka panjang. Century SOM Model menggunakan
empat pol karbon organik tanah. Pembagian fraksi karbon tanah berdasarkan
karakteristic dekomposisi karbon organik tanah atau tingkat turnover-nya.
Kuantifikasi dan Verifikasi
Model
Banyak
permodelan karbon tanah telah sangat berhasil di dalam mensimulasikan dinamika
karbon dalam skala lapang, tetapi mereka umumnya memerlukan kalibrasi pada site
yang spesifik. Sebagai contoh, perlakuan kontrol dalam eksperimen jangka
panjang dapat digunakan untuk mengkalibrasi input model atau kondisi awal yang
digunakan untuk mensimulasikan secara bebas perlakuan lain di dalam percobaan
lapang (Smith et al, 1997b). Prosedur semacam ini dapat membentuk kepercayaan
di dalam konsistensi internal dari model, tetapi tidak merupakan pengujian
validasi yang tegas. Beberapa tingkat kalibrasi mungkin tidak dapat dihindari
karena tidak menentuan tentang sejarah pengelolaan dan tingkat input bahan
organik dimasa lalu. Namun demikian, pendekatan penggunaan model simulasi
dengan ditunjang oleh jaringan kerja (networks) regional dari percobaan
lapang dalam jangka waktu yang lama (Paustian et al, 1995) dan titik-titik
pemantauan pada tingkat lapangan untuk verifikasi model menjadi sangat
menjanjikan.
Kerangka kerja
untuk kuantifikasi dan verifikasi model haruslah mengintegrasikan : 1) data
dari percobaan lapang dalam jangka waktu yang lama, 2) data dasar iklim, tanah,
penggunaan lahan, dan managemen lahan secara spasial, 3) model kuantitatif
untuk menghitung perubahan karbon tanah, 4) proses pembelajaran untuk mendukung
penghalusan model, dan 5) titik-titik sampel lapang (on farm) yang
terlokalisasi untuk tujuan monitoring. Berdasarkan pengetahuan terbaik yang
sudah ada dari penelitian-penelitian.
KESIMPULAN
Dari hasil
inventarisasi gas-gas rumah kaca tahun 1994 di Indonesia, diketahui bahwa emisi
total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak
6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak
11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak
364,726 Gg, untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah
lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net
emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994.
Peningkatan
penyimpanan karbon dalam jangka panjang (20 – 50 tahun) di dalam tanah, tanaman
dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan
pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola
baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan
pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan
yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan
unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah,
dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi lahan marginal untuk
hutan dan padang penggembalaan dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan
karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka
waktu yang lama akan mampu memeberikan efek yang menguntungkan terhadap
penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan
produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah
terdegradasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor
Cole CVK.
1996. Agricultural option for mitigation of greenhouse gas emissions. Climate
Change 1995. Impacts, Adaption and Mitigation of Climate Change. Cambridge
University Press: 1-27.
Donigan AS, AS
Patwardhan, RV Chinaswany, dan TO Barnwell. 1997. Modeling soil carbon and
agricultural practices in the central US. In Soil Processes and Carbon Cycles.
p. 499-518. CRC Press, Boca Raton.
Eswaran H, E
Van Den Berg et al. 1993. Organic Carbon In Soils of The World. Soil
Sci. of American J. 57:192-194.
Gomez B. 1995.
Assesing the impact of the 1985 farm bill on sedimen-related non-point source
pollution. J. Soil Water Conserv. 50 : 374-408.
Houghton, RA
and DL Skole. 1990. Karbon. In Turner BS, WC Clark, RW Kates, JF Richards, JT
Mathews, and WB Meyer. The Earth and Transformed by Human Action. Cambridge
Univ. Press. NY:393-408.
Jenkinson DS,
PBS Hart, JH Rayner, dan LC Parry. 1987. Modeling the turnover of organic
matter in the long-term experiments at Rothamsted. INTECOL Bulletin 15, 1-8.
Kelly RH, WJ Parton, GJ Crocker,
PR Grace, J Klir, Mkorschen, PR Poulton dan DD Richter. Simulating trends in
long-term experiments using the century model. Geoderma 81: 75-90.
King AW, WM
Post, dan SD Wllschleger. 1996. The potensial response of terrestrial carbon
storage to changes in climate and atmospheric CO2. Climate Change
35: 199-228.
Lal R. 1997.
Degradation and resilience of soils. Phil. Trans. Roy. Soc. B. 352:997-1010.
Lal R. 1998.
Residu management, conservation tillage, and soil restoration for mitigating
greenhouse effect by CO2 enrichment. Soil Till.Res.
Oldeman LR.
1994. The global extent of soil degradation. In DJ Greenland and I Szaboles
(eds), Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International, Wallington,
US: 99-118.
Parton WJ, DS
Schimel, CV Cole, dan DS Ojima. 1987. Analysis of factors controlling, soil
organic matter levels in Great Plains grass-land. Soil Sci. Soc. Am. J.
51:1173-1179.
Paul EA, K
Paustian, ET Elliot and CV Cole. 1997. Soil organic matter in temperate
agroecosystems : long-term experiments in North America. CRC Press, Boca Raton,
FL.
Paustian K, et
al, 1995. Assesement of the contributions of CRP lands to C sequestration.
Am. Soc. Of Agronomy, madison, 136.
Paustian K, HP
Collin and E Paul. 1997a. Management controls on soil carbon. In Paul EA, K
Paustian, ET Elliot and CV Cole. Soil organic matter in temperate
agroecosystems : long-term experiments in North America. CRC Press, Boca Raton,
p. 15-49.
Paustian K, O Andren,
H Janzen, R Lal, P. Smith, G Tian, H Tiessen, M van Noordwijk and P Woomer.
1997b. Agricultural soil as a C sink to offset CO2 emissions. Soil
Use and Management, 13: 230-244.
Quideau SA,
RC. Graham, OA Chadwick, and HB Wood. 1998. Organic carbon sequestration under
chaparral and pine after four decades of soil development. Geoderma 83: 227-242
Smith WN, P
Rochette, C Monreal, RL Desjardins, E Tattey and A Jaques. 1997. The rate of
carbon change in agricultural soils in Canada at the landscape level. Canadian
J. of Soil Sci. 77:219-229.
Vlek PLG. 1997. Water and nutrient cycles in the
tropics. Gottingen, Germany.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar