A.
PENDAHULUAN
a.
Pengertian
Agroforestry
Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di
mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak
atau padang pengembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara
pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, dimana komponen tersebut
ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut
mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan
komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry
sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara
bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang
bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara
sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Reijntjes, (1999),
menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan tanaman kayu tahunan secara seksama
(pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit pengelolaan lahan yang sama
sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau hewan, baik dengan
pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama maupun secara
berurutan dari waktu ke waktu.
b. Ruang lingkup agroforestri
Sistem
agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi
dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan
(adat), dan cara pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry
diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang
rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry
(King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :
a.
Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara
sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
b.
Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan
untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
c.
Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon,
pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara
bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
d.
Sistem lain , yang meliputi :
- Silvofishery : pohon dan ikan
- Apiculture : pohon dan lebah
- Sericulture : pohon dan ulat
sutera
Young
(1997) mengkelaskan agroforestry seperti pada Tabel 1. Hudge (2000) menyatakan
ada lima model utama penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu
: Alley crooping, silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest
farming.
Berdasarkan
fungsi dari pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi
atau konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan
bakar, karet, obat dan uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi :
perbaikan tanah, pelindung dan nilai spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem
agroforestry secara temporal (ladang berpindah, atau lebih menetap, dalam kasus
pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola pohon apakah pohon
dalam sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila
ditanaman menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)
Berikut
ini diterangkan contoh beberapa sistem agroforestri.
1. Strip rumput
Strip rumput merupakan bentuk
peralihan dari sistem pertanian tanaman semusim menjadi sistem agroforestri.
Strip rumput adalah barisan rumput dengan lebar 0,5-1 m dan jarak antar strip
4-10 m yang ditanam sejajar garis ketinggian (kontur). Pada tanah yang
berteras, rumput ditanam di pinggir (bibir) teras. Jenis rumput yang cocok
adalah rumput yang mempunyai sistem perakaran rapat dan dapat dijadikan hijauan
pakan ternak, misalnya rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput BD
(Brachiaria decumbens), rumput BH (Brachiaria humidicola), rumput pahit
(Paspallum notatum) dan lain- lain. Adakalanya rumput akar wangi
(Vetiveria zizanioides) digunakan juga sebagai tanaman strip rumput. Akar wangi
tidak disukai ternak, tetapi menghasilkan minyak atsiri yang merupakan bahan
baku pembuatan kosmetik.Keuntungan strip rumput:Mengurangi kecepatan aliran
permukaandan erosiMemperkuat bibir terasMenyediakan hijauan pakan
ternakMembantu mempercepat proses pembentukan teras secara alami.
2. Pertanaman lorong
Sistem
ini merupakan sistem pertanian di mana tanaman semusim ditanam pada lorong di
antara barisan tanaman pagar yang ditata menurut garis kontur. Jenis tanaman
yang cocok untuk tanaman pagar adalah tanaman kacang-kacangan (leguminosa)
seperti, gamal (Flemingia congesta Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena
leucocephala), dan Calliandra callothirsus. Jarak antar baris
tanaman pagar berkisar antara 4 sampai 10 m. Semakin curam lereng, jarak antar
barisan tanaman pagar dibuat semakin dekat.
Keuntungan
sistem pertanaman lorong:
1. Dapat
menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong.
2. Mengurangi
laju aliran permukaan dan erosi apabila tanaman pagar ditanam secara rapat
menurut garis kontur.
3. Tanaman
pagar mengambil sekitar 5-15% areal yang biasanya digunakan untuk tanaman pangan/tanaman utama. Untuk itu, perlu
diusahakan agar tanaman pagar dapat memberikan hasil langsung. Hal ini dapat
ditempuh misalnya dengan menggunakan gliricidia sebagai tanaman pagar dan
sekaligus sebagai tongkat panjatan bagi vanili atau lada. Cara lain misalnya
dengan menanam kacang gude (Gambar 4) sebagai tanaman pagar.
4. Sering
terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan cahaya. Cara
mengatasinya adalah dengan memangkas tanaman pagar secara teratur supaya
pertumbuhan akarnya juga terbatas.
5. Kadang-kadang
terjadi pengaruh alelopati dan berkembangnya hama atau penyakit pada tanaman
pagar yang dapat mengganggu tanaman pangan.
6. Tenaga
kerja yang diperlukan untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar cukup
tinggi
7. Menyumbangkan
bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong.
8. Mengurangi
laju aliran permukaan dan erosi.
Kelemahan
sistem tanaman pagar dan sistem strip rumput:
- Tanaman pagar atau strip rumput
mengambil tempat 5-15% dari total luas
lahan. - Sering terjadi persaingan
dengan tanaman lorong.
- Kadang-kadang terjadi pengaruh
alelopati (cairan atau gas yang dikeluarkan tanaman pagar yang mengganggu
pertumbuhan tanaman lorong).
- Kebutuhan tenaga kerja cukup tinggi untuk penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar.
3. Pagar hidup
Pagar
hidup adalah barisan tanaman perdu atau pohon yang ditanam pada batas kebun.
Bila kebun berada pada lahan yang berlereng curam, maka pagar hidup akan
membentuk jejaring yang bermanfaat bagi konservasi tanah. Pangkasannya dapat
digunakan sebagai sumber bahan organik atau sebagai
hijauan pakan ternak.
hijauan pakan ternak.
Jenis
tanaman yang dipakai untuk pagar sebaiknya yang mudah ditanam dan mudah
didapatkan bibitnya, misalnya gamal dengan stek, turi, lamtoro dan kaliandra
dengan biji. Untuk tanaman pagar jenis leguminose perdu (lamtoro, gamal),
ditanam dengan jarak antar batang ± 20 cm. Jarak yang rapat ini untuk menjaga
agar tanaman pagar tidak tumbuh terlalu tinggi.
Keuntungan pagar hidup:
- Melindungi kebun dari ternak
Pangkasannya dapat dijadikan hijauan pakan ternak
- Menjadi sumber bahan organik
dan hara tanah
- Menyediakan kayu bakar
- Mengurangi kecepatan angin
(wind break)
4. Sistem multistrata
Sistem
multistrata adalah sistem pertanian dengan tajuk bertingkat, terdiri dari
tanaman tajuk tinggi (seperti mangga, kemiri), sedang (seperti lamtoro, gamal,
kopi) dan rendah (tanaman semusim, rumput) yang ditanam di dalam satu kebun
(lihat gambar di halaman depan). Antara satu tanaman dengan yang
lainnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bersaing.
lainnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bersaing.
Tanaman
tertentu seperti kopi, coklat memerlukan sedikit naungan, tetapi kalau terlalu
banyak naungan pertumbuhan dan produksinya akan terganggu.
Keuntungan sistem multistrata:
- Mengurangi intensitas cahaya
matahari, misalnya untuk kopi dan coklat yang butuh naungan.
- Karena banyak jenis tanaman,
diharapkan panen dapat berlangsung secara bergantian sepanjang tahun dan
ini dapat menghindari musim paceklik.
- Tanah selalu tertutup tanaman
sehingga aman dari erosi
B.
SLASH AND
BURN DALAM AGROFORESTRY DAN MANFAAT AGROFORESTRI DALAM PENGELOLAAN TANAH
a.
Pengaruh
Slash dan Burn sistem terhadap Sifat Fisik Tanah, Sifat Kimia Tanah dan Sifat
Biologi Tanah
Kerusakan sumber daya lahan di negara-negara berkembang
sedang mejadi isu besar dalam beberapa dekade terakhir ini. Petani melakukan
sistem perladangan berpindah disebabkan beberapa hal, antara lain : (1) tingkat
pendapatan yang rendah, dimana petani tidak mampu membeli sarana produksi
(pupuk pestisida) dan bibit dan tidak mampu melakukkan upaya konservasi tanah,
(2) tingkat pengetahuan tentang teknologi pertanian rendah, (3) rendahnya
kesadaran untuk memelihara sumberdaya lahan /lingkungan, hal ini menyebabkan
peladang tidak melakukan upaya konservasi tanah, (4) adat yang memungkinkan
untuk merambah hutan (Sanchez, 1994 ; Sukmana, 1995).
Tebas yang disertai tebang atau tidak dan bakar dilakukan
pada kegiatan pembukaan hutan primer dan sekunder atau semak untuk budidaya
pertanian. Kegiatan pertanian ini ada yang menetap seperti pada program
transmigrasi dan perkebunan dan ada pula yang berpindah-pindah, disebut
perladangan berpindah. Pada setiap metoda pembukaan lahan , baik metoda manual
maupun mekanik tahap pembakaran ini dilakukan dengan maksud untuk mempercepat
proses pembersihan lahan dan biaya yang relatif murah.
Pengaruh permbakaran terhadap tanah diungkapkan oleh Ataga
dkk (1986) yang mengatakan bahwa pembakaran merupakan isu kontraversial,
sebagian orang menganjurkan agar tidak dilakukan pembakaran supaya kesuburan
tanah terpelihara dan bahaya erosi dapat dikurangi. Dari penelitian di Nigeria
Institute for Oil Palm Research, Ataga dkk (1986) melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan nyata antar pengaruh pembakaran dengan pengaruh tanpa pembakaran
terhadap sifat tanah dan produksi kelapa sawit pada pengamatan setelah 9 sampai
20 tahun sejak kedua perlakuan dicobakan.
Pembakaran memberikan keuntungan yang sifatnya sementara,
yaitu abunya sumber beberapa unsur hara bagi tanaman. Pengaruh abunya sangat
baik pada tanah masam seperti ultisol, karena dapat menaikkan pH, mengurangi
aluminium dan meningkatkan kalsium dan magnesium (Tabel 5). Akan tetapi pada
tanah yang subur abu tidak ada pengaruhnya.
Pembakaran tidak menurunkan kandungan bahan organik tanah.
Pengaruh buruk terhadap tanah adalah metoda mekanik (alat berat) dimana terjadi
pemadatan tanah yang dicirikan oleh menurunnya laju infiltrasi dan pengusuran
lapisan tanah atas yang dicirikan oleh lebih rendahnya kandungan bahan organik
tanah.
Pembakaran biomass dengan cepat dapat meningkatkan pH tanah,
Kation basa tertukar, KTK efektif tanah dan p tersedia. Pada tanah-tanah masam
abu akan menetralkan pH tanh dan menekan kelarutan Al dalam tanah. Hal ini
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa contoh pengaruh pembakaran
terhadap sifat kimia tanah.
Bahan organik dikonversi menjadi hara yang tersedia dari
bahan organik tanah melalui proses dekomposisi, yang dipengaruhi oleh faktor
physicochemical environment, meliputi iklim dan tanah; kualitas bahan organik
(komposisi kimia bahan organik); dan biota decomposer (Swift et al, 1979).
Model umum dari sistem tebang bakar mempercepat proses dekomposisi. Bahan
organik tanah sekarang merupakan hal yang penting meningkatkan produktivitas
lahan dalam sistem tebang bakar dan pertanian dengan input rendah karena ini
membantu dalam mempertahankan kesuburan dan struktur tanah. Hara juga disimpan
dalam bentuk organik (N dan P) dan mineral pada tapak pertukaran bahan organik.
Dekomposi bahan organik akan melepaskan hara yang diperlukan oleh tanaman dari
bahan organik menjadi lebih tersedia tapi pada tingkat bahan organik yang
terlalu rendah akan merusak struktur tanah dan dengan pembakaran juga akan
menekan jumlah bahan organik dalam bentuk C-mikroba.
Sedikit penelitian di tropis tentang pengukuran biomas
mikroba pada hutan dan daerah penerapan sistem slash-burn (tebang bakar). Dalam
Ayanaba dkk., (1976) plot tanaman jagung dengan residu dikembalikan menunjukkan
penurunan 27 % C-mikroba dalam 2 tahun sebaliknya C-total menurun hanya 10 %;
plot tanpa residu dikembalikan menunjukkan penurunan 52 % dan 30 % untuk
C-mikroba dan C-total. Dalam kedua kasus tersebut pengukuran mikroba lebih
sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan. Rasio SMC/TC juga menunjukkan
penurunan. Bonde, Rosswall dkk., (1991) mendapatkan sedikit penurunan C-mikroba
pada pada padang rumput selama 2 dan 8 tahun, dengan sedikit meningkat setelah
8 tahun padang rumput ditanami legume. Total C walaupun meningkat pada sistem
padang rumput tapi rasio SMC/TC menurun berurutan 48 % dan 20 % pada padang
rumput tanpa legum dan dengan legum.
Penggunaan rasio SMC/TC sebagai indikator sustainable
(keberlanjutan) selama 1 tahun setelah penerapan sistem tebang bakar (Alegre
dkk., 1989) menunjukkan penurunan yang cepat kandungan bahan organik pada
sistem pertanian input tinggi diikuti input rendah dan sistem perladangan
berpindah.
Pembakaran melepaskan hara tanaman yang immobile dalam
biomass. Abu mengandung kation Ca, Mg dan K dan beberapa unsur N dan S akan
hilang melalui volatilisasi. Pembakaran juga akan melepaskan sejumlah karbon
dan nitogen ke atmosfir. Disamping itu pembakaran juga akan merubah sifat
biologi tanah dimana sejumlah fauna pendekomposisi. Pembakaran intensif
hususnya pada windrow biasanya meningkatkan temperatur tanah lebih 100oC sampai
kedalaman 10 cm. Temperatur tanah lebih dari 60 oC dipertahankan selama 30 jam
atau lebih. Tanah yang terbakar akan steril pada kedalaman mencapai 10-20 cm.
b.
Manfaat
Agroforestri Dalam Pengelolaan Tanah
Dalam
kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti kemampuan
untuk tetap produktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya. Menurut
Reijntjes dkk., (1992), pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri : mantap
secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi dan luwes.
Pertanian berkelanjutan dan Pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi teknologi dan
perubahan institusi dalam suatu cara untuk meyakinkan hasil yang dicapai dan
kepuasan yang berkelanjutan kebutuhan manusia untuk sekarang dan generasi masa
datang. Pembangunan yang berkelanjutan memelihara sumber daya lahan, air dan
tanaman dan genetik hewan yang secara lingkungan tidak terdegradasi, secara
teknologi yang tepat, secara ekonomi dapat berjalan dan secara sosisal dapat
diterima (FAO, 1995 dalam Young, 1997). Secara sederhana penggunaan lahan yang
berkelanjutan merupakan sesuatu yang mempertemukan kebutuhan untuk produksi
pengguna lahan sekarang, tetapi memelihara sumberdaya pokok untuk generasi
mendatang yang mana tergantung produksi. Sustainable = Produksi + Konservasi.
Pengaruh
interaksi pohon dan tanamam dalam peneglolaan tanah menunjukkan respon positif
(+) terhadap peningkatan produktivitas, memperbaikai kesuburan tanah, siklus
hara, konservasi tanah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebelum
mempertimbangkan methoda untuk mengkuantifikasi pengaruh interaksi
pohon-tanaman, akan lebih berguna menggunakan daftar keuntungan secara biofisik
dan konsekwensinya yang biasanya terlibat dalam sistem agroforestry untuk
menunjukkan bukti yang didasarkan pada penelitian langsung maupun tidak
langsung.
Sebagai
contoh keuntungan dan pengaruh konpetisi dalam short-term dapat berbeda dengan
dalam long-term. Sebagai net efek untuk cahaya, air biasanya negatif sedangkan
untuk hara pada dalam short-term menunjukkan net efek yang positif. Pengaruhnya
terhadap perbaikan kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan
hara dari bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat kimia tanah menunjukkan
pengaruh net efek yang positif dalam long-term. Hudge (2000) melihat benefit
silvopasture dapat : diversifikasi pendapatan, menekan kebutuhan bahan kimia atau
kontrol mekanik vegetasi dan dapat menekan kebutuhan pupuk kimia. Penggabungan
pohon, makanan ternak dalam silvopastoral dapat menekan resiko ekonomi dengan
banyak produk dara lahan yang sama, secara lingkungan dapat mengkonservasi alam
dan kondisi sosial yang berhubungan dengan kualitas air, debu, kebisingan.
C.
INTERAKSI
BIOFISIK DALAM SISTEM AGROFORESTRY
Interaksi
antara komponen kayu dan non-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam
pengembangan semua sistem agroforestri (Rao dkk., 1998). Karena itu sangat
penting untuk memahaminya dalammemperbaiki sistem tradisional yang telah lama
diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal
yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan
biologi tanah), persainga (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara, dan
radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan
allelopati (Tabel 6).
a.
Prinsip Pengambilan Dan Pemanfaatan Cahaya Dan Air
Tumbuhan
dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu dan air dan
kelembaban yang berbedapula. Ada yang mebutuhkan banyak sinar matahari ada yang
sedikit dan menyukai naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam
agroforestri dalam hal memodifikasi iklim mikro.
Komponen
dalam tumpangsari atau agroforestri sering berbeda sekali dalam ukuran, dimana
tanaman yang berukuran kecil sering terhambat pertumbuhannya karena pengaruh
naungan dan juga karena persaingan akan hara dan air. Persaingan akan cahya
merupakan faktor pembatas utama bila air dan hara tersedia cukup. Tapi di
daerah tropik air dan hara (masam, tercuci dan tanah terdegradasi) lebih utama
dibandingkan dengan faktor cahaya. Persaingan tersebut bila msampai menjadi
faktor pembatas akan berpengaruh terhadap produksi biomassa baik berupa shoot
maupun root.
Millet-groundnut
intercropping, leucaena (C3 legume) dipangkas pada ketinggian 0,65-0,70 m
sebelum tanam dan dipertahankan pada ketingian yang sama sebagai C4, pear
millet sepanjang musim. Ada bukti bahwa e meningkat dalam sistem agroforestri,
tapi tidak cukup untuk mengimbangi penurunan akibat kekurangan cahaya oleh
pearl millet sebagai akibat persaingan dari leucaena. Masalah tersebut tidak
begitu berpengaruh terhadap tanaman pohon yang menghasilkan buah (Kesler, 1992
dalam Ong and Huxley, 1996). Beberapa contoh lainnya seperti tumpangsari
jagung-pigeonpea, millet-groundnut, dan pigeonpea-groundnut yang menunjukkan
tanaman yang tumbuh pertama akan menghambat perkembangan kanopi yang lainnya
dengan cepat.
Seperti
pada penangkapan cahaya, intercropping dan khususnya sistem agroforestri
memberikan peluang untuk menerapkan sistem secara spasial atau temporal dalam
persaingan terhadap penggunaan air, yang berdampak terhadap ketersediaan air
bagi tanaman. Tetapi peluang untuk sdaling melengkapi antar spesies yang
berbeda responnya dalam pola kaopi dan perakaran; pembentukan akar tergantung
juga pada keadaan tanah. Beberapa pengalaman lapangan menyarankan bahwa total
penggunaan air berbeda tergantung pada jenis tanaman. Walaupun total penggunaan
air oleh intercrop (585 mm) jauh melebihi sorgum (434 mm), tidak menunjukkan
sisa lebih lama selama penanaman sole pigeonpea (584mm). Dalam penelitian yang
sama , Reddy dan Willey (1981) menunjukkan bahwa penggunaan air oleh pearl
intercrop millet – groundnut sebesar 10 % lebih besar pada groundnut dan 34 %
lebih besar pada sole millet; suatu faktor utama yang tampak adalah leaf area
index (indek luas daun/ILD) melebihi 2 selama sekitar 20 hari dalam 82 hari
tanaman sole millet, tapi selama 50 hari dalam 105 hari intercrop. Untuk rasio
penggunaan air untuk tanaman cereal C4 tropika umumnya sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan taman C3 pada kondis yang baik. Sebagai contoh nilai ew
untuk jagung dan sorgum 2 kali lebih besar dibandingkan dengan pada spesies
tanaman C3 (Angus dkk., 1983), dan sama dengan dengan ew antara pearl millet
dan groundnut (Squire, 1990). Pada kondisi tekanan air yang sama (mean
saturation defisit 2-2.5 kPa), musim yangbpanjang ew 3,9 dan 4.6 gr kg-1 untuk
millet dan 1.5, 1.9, dan 2 gr kg –1 untuk groundnut. Tapi untuk spesies C4
tidak selalu mempunyai rasio penggunaan air yang lebih tinggi dari pada tanaman
C3, karena nilai yang sama dilaporkan untuk tanaman C3 yang toleran kekeringan
seperti cowpea dan cotton dan tanaman C4 yang sensitif kekeringan sperti jagung
dan sorgum (Rees, 1986b).
b.
Modifikasi Iklim Mikro Dalam Agroforestry
Pengaruh
yang paling penting penggabungan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu akan
menghasilkan perubahan mikroklimat yang berpengaruh terhadap sistem komponen
pertumbuhan tanaman. Untuk memahami modifikasi iklim mikroklimat yang terjadi
dalam sistem agroforestri berhubungan dengan radiasi, angin, kelembaban dan
temperatur. Perubahan mikroklimat tersebut akan mempengaruhi evapotranspirasi
dan pertumbuhan tanaman. Cahaya matahari yang bermanfaat dalam proses
fotosintesis Q (0.4-0.7 um). Sinar matahari yang diserap oleh permukaan
non-transmited adalah S(1 – a ) dimana a merupakan reflektan atau albedo.
Sangat sedikit informasi yang tersdia tentang albedo dalam sistem agroforestri,
tapi ada informasi untuk permukaan yang analog dengan sistem agroforestri.
Energi
yang diserap daun tanaman atau agroforestri (net radiation, Rn) dapat dihitung
sebagai perimbangan radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek : Rn= S(1 –
a ) + R1.d-R1.u, dimana Ri.d radiasi gelombang panjang yang diserap permukaan
dan R1.u adalah radiasi gelombang panjang yang dipantulkan oleh permukaan.
Fluxes radiasi gelombang panjang biasanya antara 300-400 W m-2 relatif konstan,
dimana Rn siang sangat dipengaruhi besarnya S. Dibawah langit yang cerah
R1.d-R11.u sekitar –100 W, hal inimmenyebabkan malam lebih dingin dari siang.
HA menrupakan sebab langit lebih dingin dari permukaan tanah dan vegetasi, tapi
dibawah kanopi hutan fluxe radiasi gelombang panjang hampir sama antara yang
masuk dan keluar sehingga teras lebih dingin. Hal ini menjelaskan kenapa lebih
dingin dibawah pohon dari pada daraeh terbuka dan dapat menjadi hal penting
sebagai fungsi naungan pada tanaman kopi, teh atau modifikasi bnetuk lain dalam
penerapan agroforestri.
Angin
dalam agroforestri berhubungan dengan kerusakan, peran dalam membantu
evapotraspirasi, suhu udara dan membantu dalam penyerbukan. Sebagai dampak
negatif dari angin dapat diatasi dengan membuat penahan atau pemecah angi
(Hudge, 2000). Pemecah angin tanaman dan ternak dari angin yang kuat,
mengurangi erosi angin, memperbaiki efisiensi irigasi.
Area
yang dicegah dan efektivitas ditentukan oleh komposisi, kepadatan, jaak,lebar,
arah dan kontinuitas. Biasanya kecepatan angin akan dikurangi pada windward
mencapai jarak 2 samapi 5 kali tinggi baris tanaman tertinggi. Sedangkan pada
leeward mencapat 10-20 kali tinggi pohon. Luasnya naungan oleh pohon tergantung
lebar kanopi, luas daun, sudut daun, karaktersitik transmisi dan reflektan
kanopi (Ong dan huxley, 1996). Hal ini akan mempengaruhi konduktan stomata,
evaporasi dan transpirasi.
D.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Agroforestry dapat disefinisikan sebagai bentuk menumbuhkan
dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian
dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan
secara ekologi, sosial dan ekonomi baik dengan pengaturan ruang secara campuran
atau di tempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu. Agroforestry
lebih ditujukan untuk mendapatkan keuntungan dari interaksi pohon dan tanaman
dalam usaha memperbaiki produktivitas lahan atau untuk mengendali isu
lingkungan atau isu sosial untuk mengoptimasi keuntungan produk dan lingkungan.
Dalam pengelolaan suatu sumberdaya dengan sistem
Agroforestry sangat tergantung pada komunitas masyarakat sekitar kawasan
terutama yang menyangkut faktor sejarah, faktor sosial, faktor ekonomi dan
faktor budaya. Sebagai kerangka bahwa investasi agroforestry, pasar, produksi
dan konservasi yang dibuat petani didasarkan pada kondisi internal keluarga
sebagai kunci terhadap faktor eksternal yang berhubungan dengan : (1) pasar dan
informasi pasar, (2) tersedianya layanan pendukung, (3) informasi teknologi,
dan (4) kebijakan, peraturan, undang-undang dan insentif.
Dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada
dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus mempertahankan basis
sumberdaya yang dicirikan dengan mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara
ekonomis, adil, manusiawi dan luwes.
Interaksi antara komponen kayu dan no-kayu (annual crop)
merupakan kunci suksesnya dalam pengembangan semua sistem agroforestri. Karena
itu sangat penting untuk memahaminya dalam memperbaiki sistem tradisional yang
telah lama diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat
dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia
tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persaingan (meliputi interaksi
persaingan air tanah, hara, dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit
tanama) konservasi tanah dan dan allelopati.
b.
Saran
Untuk itu ke depan dalam mengembangkan suatu pola Agroforestry
diharapkan memperhatikan prospek pasar, karena hal ini akan memberikan pengaruh
yang besar sekali terhadap respon petani dalam menerapkan atau mengadopsi
Agroforestry. Terutama yang dihadapi petani dalam pemasaran produk agroforestri
antara lain :
- kurangnya infra struktur untuk
mengembangkan system agroforesty
- terbatasnya volume produksi
karena ukuran usaha yang kecil dan sistem produksi yang masih subsistem
- kurangnya informasi tentang
jumlah persediaan mengenai pengetahuan agroforesty secara meluas kepada
masayarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alegre, J.C., P.A. Sanchez, C.A.,
Palm and J.M. Perez, 1989. Comaprative soil dynamics under different management
option. TropSoils Technical Report. North Caroline State University.
Dephutbun, 1998a. Penataan Ulang
Penguasaan Lahan dan Pengusahaan Hutan Skala Besar dalam Rangka Redistribusi
Manfaat Sumber Daya . Jakarta.
Ditjenbun, 1998. Laporan Pelaksanaan
dan Penilaian Perkebunan Inti Raktyat. Jakarta.
Hodges, S.S., 2000. Agroforestri: An
Integrated of Land Use Practices. University of Missouri Center for
Agroforestry.
Kartodihardjo H. A. Supriono, 2000.
Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus
Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Koopelman, R., Lai C.K., 1996. Asia
Facific Agroforestri. Second Edition. FAO. Bangkok
Morris C., and W. Michael, 1999.
Integrated Farming Sistem : The third way for european agriculture. Land Use
Policy 16(1999):193:205. Elseviers (Internet).
Satjapradja, O. 1982. Agroforestri
di Indonesia. Suatu usdaha terpadu antara kehutanan dan Budidaya pertanian
lainnya. Journal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Susila, W.R., 1998. Perkembangan dan
Proyek Komoditas Utama Perkebunan. Pusat Studi Ekonomi. Lemabag Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Tejwani, K.G., and C.K. Lai, 1992.
Asia Pacific Agroforestri Profile. APAN field document. FAO. Bogor, Indonesia.
Sukmana, S, 1995. Dampak pertanain
tebas nakar terhadap sumber daya tanah. Methodologi PRA dalam alternatif tebas
bakar. Laporan ASB, Bogor, Indonesia.