PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mempunyai manfaat sebagai pelindung lingkungan
yang berfungsi mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah erosi
dan lain-lain. Air merupakan produk penting dari hutan. Tetapi bila pohon-pohon
di hutan ditebang, maka tanah akan terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan
langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan erosi maupun banjir (Suparmoko,
2000).
Taman Nasional Gunung Leuser biasa disingkat TNGL adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia seluas
1.094.692 Hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi
Aceh
dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang
terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya,Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera
Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi,
Karo
dan Langkat
Permasalahan
deforestasi dan degradasi lahan di Indonesia menjadi sorotan dari banyak pihak.
Salah satu kawasan hutan yang mengalami tekanan cukup berat adalah Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL). Data terakhir per Januari 2008, hasil kajian
balai besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sejak tahun 2005. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi masyarakat yang terdapat di sekitar kawasan TNGL masih
berada dalam garis kemiskinan (35%). Kehadiran TNGL secara nyata di lapangan
belum mampu memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan kemiskinan
masyarakat di sekitar kawasan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
seiring dengan paradigma otonomi daerah (Balai TNGL, 2008).
Jauh
sebelum kawasan Gunung Leuser ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tanggal 6
Maret 1980 oleh Menteri Pertanian, aktivitas perambahan hutan di kabupaten
Langkat sudah ada sejak tahun 1970-an. Saat itu, perambahan tidak hanya
melibatkan masyarakat lokal tetapi juga perusahaan perkebunan, pemodal besar.
cukong kayu, dan masyarakat dari wilayah lain. Tahun 1999/2000, tingkat
kerusakan semakin bertambah luas dengan masuknya para pengungsi asal Aceh Timur
(akibat kondisi yang tidak kondusif) yang mendiami kawasan Damar Hitam, Sei
Minyak dan Barak Induk. Akibat dari aktivitas pengungsi di dalam kawasan, yang
mendirikan pemukiman dan membuka lahan pertanian, kini luas kerusakan TN Gunung
I.euser di kabupaten Langkat telah mencapai ± 22.000 ha (Balai TNGL, 2005).
Besarnya
luas kerusakan tersebut, juga tidak terlepas dari keterlibatan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab, yang sengaja datang untuk merambah kawasan dengan
mengatasnamakan dirinya sebagai pengungsi. Berdasarkan estimasi Dinas Kehutanan
Kabupaten Langkat, jumlah perambah saat ini telah mencapai ± 3000 KK, 400 KK di
antaranya adalah pengungsi Aceh Timur.
Tujuan
Meningkatakan
Peranan masyarakat sekitar hutan dalam menjaga
kelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan yang ada di dalam hutan serta dampak perambahan hutan taman nasional gunung
leuser terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi alam. Taman Nasional menurut pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pada ayat 14,
diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi
(Pristiyanto, 2005).
Kriteria Penetapan Kawasan Taman Nasional (TN) adalah
sebagai berikut: Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk
menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami:
1. Memiliki sumber daya alam
yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya
serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
2. Memiliki satu atau beberapa
ekosistem yang masih utuh.
3. Memiliki keadaan alam yang
asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.
4. Merupakan kawasan yang
dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang
karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk
sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung
upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan
sebagai zona tersendiri.
Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat
antara lain: ekonomi dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai
ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki
produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan
pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.
1. Ekologi, dapat menjaga
keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan.
2. Estetika, memiliki
keindahan sebagai obyek wisata alam yang dikembangkan sebagai usaha pariwisata
alam/bahari.
3. Pendidikan dan penelitian,
merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
4. Jaminan masa depan
keanekaragaman sumber daya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di
perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang
lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang (Departemen Kehutanan,
1986).
Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah dan
dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasional dikelola berdasarkan satu
rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi,
teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan taman nasional
sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang
menunjang
upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan
(Departemen Kehutanan, 1986).
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
UNESCO
menetapkan kawasan TNGL sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada
tahun 2004 sekaligus sebagai cagar biosfer pada tahun 1981. Kawasan ini sangat
penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga
karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Sebagai
kawasan hutan alami di Pulau Sumatera bagian Utara, TNGL sebagai jantung
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sekitar tahun 1980-an ditetapkan secara resmi
oleh pemerintah sebagai Taman Nasional dengan luas kawasan 802.485 ha, TNGL
terletak di dua provinsi, yaitu Sumatera Utara seluas 213.985 ha dan di Aceh
seluas 588.500 ha. Melalui Surat Keputusan (SK) Menhut No. 227/Kpts-II/1995
yang kemudian diperkuat dengan Keppres No. 33 tahun 1998, TNGL di samping
berfungsi sebagai suaka margasatwa, suaka alam dan taman wisata, kawasan taman
nasional sekaligus merupakan daerah penyangga dan daerah tangkapan air dari
beberapa sungai yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di Provinsi Aceh
dan Provinsi Sumatera Utara. Terdapat paling sedikit 22 sungai besar yang
berasal dari dalam kawasan TNGL. Hampir 80 persen topografi kawasan memiliki
kelerengan di atas 40 persen sehingga kondisi alamnya sangat rentan terhadap
erosi apabila terjadi penggundulan hutan pembukaan wilayah hutan disaat curah
hujan tinggi (Balai TNGL, 2006).
Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi yang terletak di wilayah Sumatera bagian
Utara. Selain itu TNGL merupakan hulu dari sepuluh daerah aliran sungai yang
mensuplai air untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera
Utara. Namun keadaan terkini TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat
perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984).
Berdasarkan
Pasal 3 Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 6186/Kpts-II/2002
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Balai Taman Nasional
menyelenggarakan fungsi:
1.
Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional
2.
Pengelolaan taman nasional
3.
Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional
4.
Perlindungan, pegamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional
5.
Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
6.
Kerjasama pengelolaan taman nasional
7.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, pasal 30 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam
(termasuk di dalamnya taman nasional) mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Pristiyanto, 2005).
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air,
tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan,
perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap
gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain (Balai TNGL, 2008).
Efektivitas
Pengelolaan
Pengelolaan TNGL sampai dengan saat ini dapat
dinilai belum efektif, dan bahkan tidak efisien. Yang menjadi persoalan adalah
banyak persoalan strategis, seperti illegal logging dan perambahan
kawasan dan proses penegakan hukum, khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara dan
Kabupaten Langkat tidak pernah dapat dituntaskan. Balai TNGL tidak berdaya
menangani persoalan illegal logging dan perambahan kawasan di Kabupaten
Aceh Tenggara, yang antara lain disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu kondisi
keamanan yang tidak kondusif sejak 5 tahun terakhir. Logging di Aceh Tenggara
baru berakhir pada Desember 2005, ketika dilakukan operasi yang dipimpin tim
khusus Mabes Polri, dengan menutup seluruh kilang kayu yang walaupun memiliki
ijin resmi, namun melakukan penebangan di dalam kawasan TNGL (Departemen
Kehutanan, 1986).
Persoalan umum lainnya, seperti tidak aktifnya
kantor-kantor resort di lapangan juga merupakan isu strategis yang sangat akut.
Dari 28 kantor resort di lapangan, diperkirakan hanya 30% yang masih aktif
bekerja. Hal ini kemudian berkembang dengan munculnya fenomena “paper park”.
Taman nasional yang hanya ada di atas peta. Di lapangan, masyarakat tidak
mengetahui batas-batas kawasan taman nasional masyarakat tidak mengetahui atau
apatis terhadap manfaat taman nasional bagi kehidupannya. Wawancara di lapangan
juga menunjukkan bahwa masyarakat lebih mengenal hutan PPA (Perlindungan dan
Pelestarian Alam) sebagai sebutan bagi TNGL. Hal ini membuktikan bahwa staf-staf
di masa lalu memang lebih rajin bekerja di lapangan, yang di masa itu
kawasan-kawasan taman nasional dikelola oleh setingkat direktorat, dengan nama
Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA).
Tingkat
Pendapatan Masyarakat
Merupakan acuan yang dapat digunakan untuk melihat
perekonomian masyarakat desa yang biasa menggambarkan tingkat kesejahteraan
penduduk adalah dengan konsep garis kemiskinan yang dikemukakan oleh Sayogyo
(1997), yang didasarkan Rumah Tangga (RT) per tahun. Konsep ini mengkonversikan
tingkat pendapatan masyarakat dengan dasar konsumsi beras berdasarkan harga
yang ditetapkan (Sayogyo, 1997).
Seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila sudah
terpenuhi segala kebutuhannya bukan keinginannya. Kebutuhan dasar seseorang
mencakup pada 6 hal yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan
kesehatan. Jika kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi maka layak orang tersebut
dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US$ 2 perhari seperti
standar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Seberapa banyak atau sedikitnya upah
seseorang per hari tidak akan menjadi ukuran kesejehteraan jika dia belum
terpenuhi 6 aspek tersebut.
Kesejahteraan
dapat dilihat melalui besar pendapatan yang diperoleh setiap orang. Tingkat
pendapatan rata-rata per bulan dapat dikategorikan menjadi:
a.
Golongan berpenghasilan rendah sebesar Rp. 0 – Rp. 600.000
b.
Golongan berpenghasilan sedang Rp. 601.000 – Rp. 1.000.000
c.
Golongan berpenghasilan tinggi Rp. 1.001.000 – Rp. 1.400.000
d.
Golongan berpenghasilan sangat tinggi Rp. > Rp.1.400.000
(BPS,
2010).
Standar kebutuhan hidup masyarakat telah diteliti
oleh para ahli dimana diperlukan 320 kg beras per kapita/tahun. Diandaikan
harga beras Rp 5000, maka untuk kebutuhan hidup minimal adalah 320 x 5 (diandaikan
5 anggota dalam 1 keluarga) = 1600 kg/tahun x Rp 5000 = Rp 8.000.000/12 bln =
Rp 666.666/bulan.
Sedangkan
untuk kebutuhan hidup layak adalah sudah bisa mengesampingkan uang dimana 50%
untuk pendidikan, 50% untuk kesehatan, 50% untuk sosial, 50% untuk sarana
kehidupan, dan 50% untuk tabungan. Maka dapat dihitung 320 x 250% x 5 x 5000 =
20.000.000/tahun = 1.666.666/bulan (Rauf, 2001).
Rendahnya
tingkat pendapatan di pedesaan tidak terlepas dari produktifitas yang rendah,
kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani. Aspek ekonomi desa dan peluang
kerja berkaitan dekat dengan masalah kesejahteraan masyarakat desa. Ekonomi
pedesaan ditentukan oleh pola berusaha dari masyarakatnya. Lapangan usaha
pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan merupakan mata pencaharian pokok
masyarakat pedesaan (Mubyarto, 1991).
Pengertian
Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan hutan baik yang memanfaatkan secara langsung maupun
tidak langsung hasil hutan tersebut. Masyarakat sekitar hutan dalam memandang
hutan sebagai ruang kehidupan yang luas, tidak hanya bermakna produksi atau
ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik bersifat ekologis ataupun
terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang menempati kedudukan
terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut sendi
kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya
hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001).
Masyarakat sekitar hutan pada
umumnya merupakan masyarakat yang tertinggal, kondisi sosial ekonomi golongan
masyarakat pada umumnya rendah. Akibatnya sering timbul kecemburuan sosial
masyarakat setempat terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengabaian kepentingan masyarakat dalam kegiatan
pemanfaatan hutan (Darusman dan Didik, 1998).
Sosial
Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Bila keadaan sosial ekonomi masyarakat baik, maka
hutan pun akan aman dan kelestariannya pun dapat terjamin. Sebaliknya bila
terdapat kemiskinan, kelaparan atau kekurangan pangan maka hutan akan menjadi
sasaran. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya
masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan
penyelenggara pelesatarian lingkungan, sehingga pada akhirnya akan menunjang
pembangunan, khususnya di sektor pertanian maupun kehutanan (Waruwu, 1984).
Beberapa hal penting untuk
menciptakan keadaan yang baik sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan adalah
menciptakan lapangan kerja yang cukup majemuk bagi masyarakat, peningkatan
pendapatan dan taraf hidup, pengadaan sarana dan mewujudkan lingkungan hidup
yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Kotijah,
2006).
PEMBAHASAN
Masalah Lingkungan
pada Pengelolaan Hutan
Masalah lingkungan hidup mulai dirasakan sejak
revolusi industri di Inggeris, yang kemudian menyebar ke seluruh Benua Eropa,
hingga perkembangannya sampai ke Amerika, dan belahan dunia timur. Kegiatan
industri telah memacu kepada eksploitasi sumber daya alam guna memenuhi
kebutuhan industri tersebut (Tim Konsultan Focus, 1999).
Adanya
aktivitas industri ini bagi masyarakat dunia merupakan bentuk peluang sekaligus
resiko bagi tatanan kehidupan umat manusia. Peluang secara ekonomi, proses
industri merupakan upaya meningkatkan nilai tambah hasil sumber daya alam.
Resiko lingkungan dari aktivitas industri meminta konsekuensi besar-besaran
terhadap SDA, sekaligus munculnya pencemaran dari buangan industri.
Ancaman Kerusakan Ekosistem Hutan
Eksploitasi
hutan sebagai sub sistem penyangga kehidupan di bumi ternyata, merupakan faktor
yang cukup krusial menimbulkan dampak lanjutan apabila telah mengalami gangguan
keseimbangan. Kerusakan ini dapat berupa pengurangan luas wilayah hutan,
perusakan fungsi tata guna hutan, maupun menurunnya produktivitas lahan hutan.
Kerusakan
hutan yang terjadi akibat pembabatan atau eksploitasi hutan, kebakaran hutan
telah menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Karena dalam sistem hutan tropis
seperti di Indonesia, sebagian besar zat hara lebih banyak tersimpan dalam
tegakan hutan tersebut. Dalam laporan State of the World 1989, dampak kerusakan
hutan telah menyebabkan erosi tanah yang menghanyutkan sekitar 24 milliar ton
lapisan tanah bagian atas (Tim Konsultan Focus 1999).
Kajian IIASA (International Institute For Applied System Analysis) memperkirakan akibat perusakan hutan-hutan di Eropa berjumlah US $ 30,4 milliar/tahun atau setara dengan hasil tahunan industri baja di Jerman. Hilangnya kayu mentah atau yang belum diproses dari reduksi sebesar 16 % panen tahunan senilai US $ 6,3 milliar. Kemudian kayu mentah yang hilang itu diubah menjadi gelondongan atau bubur kertas nilainya dapat mencapai US $ 7,2 milliar. Kerugian-kerugian lain matinya hutan-hutan, mncakup biaya-biaya banjir yang bertambah, hilangnya lapisan tanah, endapan di sungai-sungai, dinilai mencapai US $ 16,9 miliar/tahun.
Kajian IIASA (International Institute For Applied System Analysis) memperkirakan akibat perusakan hutan-hutan di Eropa berjumlah US $ 30,4 milliar/tahun atau setara dengan hasil tahunan industri baja di Jerman. Hilangnya kayu mentah atau yang belum diproses dari reduksi sebesar 16 % panen tahunan senilai US $ 6,3 milliar. Kemudian kayu mentah yang hilang itu diubah menjadi gelondongan atau bubur kertas nilainya dapat mencapai US $ 7,2 milliar. Kerugian-kerugian lain matinya hutan-hutan, mncakup biaya-biaya banjir yang bertambah, hilangnya lapisan tanah, endapan di sungai-sungai, dinilai mencapai US $ 16,9 miliar/tahun.
Dampak Pengurangan Keanekaragaman Hayati
Dampak
langsung dari kerusakan hutan-hutan di dunia, yaitu banyaknya jenis-jenis
kekayaan hayati dalam ekosistem hutan tersebut yang telah berkurang, bahkan
telah musnah bersama hilangnya tegakan hutan. Disamping akibat kerusakan hutan,
kelangkaan jenis hayati, sumberdaya genetis, dan plasma nutfah juga banyak
disebabkan oleh eksploitasi berlebihan terhadap jenis-jenis hayati (tumbuhan
dan hewan), fragmentasi habitat, dan akibat proses hibridisasi jenis yang tidak
melestarikan genetik asli.
Kegiatan
eksploitasi, fragmentasi, dan hibridisasi ternyata telah memicu proses
kelangkaan dan musnahnya berbagai jenis hayati di bumi. Laporan dari WWF
sebanyak 15 – 20 % dari seluruh spesies makhluk hidup akan punah pada tahun
2000. Dan laporan IUCN (International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources), telah diidentifikasi ada 20 spesies tumbuhan dan 89 spesies
hewan terancam punah d wilayah hutan bakau, serta tiga perempat dari 900 jenis
burung di bumi telah langka dan terancam punah. Data FAO menyatakan 4 dari 17
wilayah penangkapan ikan di dunia telah dikuras populasinya, diantaranya
menyebabkan ikan tuna sirip biru di wlaiayah Atlantik telah menyusut 94 % dari
jumlah sebelumnya.
Memperhatikan
ancaman dari kepunahan berbagai organisma, IUCN telah menyusun daftar spesies
organisma langka dan sangat langka pada berbagai wilayah di dunia, yaitu
kelompok binatang menyusui 145 spesies, kelompok burung 437 spesies, kelompok
ampibi dan reptil 69 spesies, invertebrata lebih 400 spesies, dan kelompok
tumbuhan 250 spesies.
Menjaga Keutuhan
Hutan dengan Berbagai Sistem
Hutan
merupakan sumber daya alam hayati yang peranannya sangat vital dalam
sendi-sendi kehidupan. Baik di Indonesia maupun dunia, semua mengakui jika
vitalitas hutan betul-betul signifikan. Dimulai dari yang paling vital namun
sederhana, ialah peranannya dalam menyuplai oksigen ke seluruh biosfer. banyak
cara menjaga keutuhan hutan tanpa merusak apa yang ada di dalamnya termasuk
tumbuhan dan hewan. Masyarakat sekitar hutan tetap bisa memanfaatkan keberadaan
hutan untuk menambah penghasilan. masyarakat
dapat melakukan dengan sistem Agroforestry Tipe Agrosilvikultur atau merupakan
kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, buah dan tanaman perkebunan
seperti karet, damar dan aren.
Agroforestry merupakan teknologi kombinasi
agrikultur/pertanian dan kehutanan untuk menciptakan lahan secara integral, produktif
dan menggunakan sistem yang berbeda (Garrett at el. 2000). Agroforestry
mempunyai kemampuan untuk menyediakan manfaat ekonomi jangka pendek; pada saat
petani menunggu hasil kehutanan tradisional yang jangka waktunya relatif
panjang. Sebagai contoh dari sistem agroforestry adalah penanaman tanaman
penyangga di tepi sungai yang dapat memperkecil pengaruh banjir dan melindungi
kualitas air, menyediakan habitat satwa liar, kesempatan/peluang untuk rekreasi
dan memproduksi sesuatu yang bisa dipanen, seperti biji-bijian yang dapat
dimakan dan tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan.
Ludgren dan Raintree, 1982 mendefinisikan Agroforestry
sebagai nama kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi pengelolaan lahan
dimana tanaman berkayu (pohon, semak belukar, palma, bambu dst.) dan tanaman
pertanian ditanam pada suatu unit manajemen lahan baik melalui pengaturan ruang
(jarak tanam) maupun pengaturan waktu (pergiliran, daur). Dalam sistem
agroforestry senantiasa ada interaksi ekologis dan ekonomi di antara
komponen-komponen yang berbeda.
Budowski (1981) dalam Lahjie, A.M (2001) menjelaskan beberapa
keuntungan Agroforestry antara lain :
Manfaat Lingkungan/ekologi :
- Pengurangan tekanan terhadap hutan
- Daur ulang usnur hara yang cukup efisien pada lahan oleh pohon-pohon yang mempunyai perakaran dalam
- Perlindungan yang lebih baik bagi sistem ekologi
- Pengurangan aliran permukaan, pencucian unsur hara dan erosi tanah melalui efek rintangan yang dihasilkan oleh akar-akar dan batang pohon pada proses-proses tersebut
- Perbaikan iklim mikro, seperti penurunan suhu permukaan tanah dan pengurangan penguapan kelembaban tanah melalui pemulsaan dan penaungan oleh pohon
- Peningkatan unsur hara tanah melalui penambahan dan dekomposisi seresah yang jatuh
- Perbaikan struktur tanah melalui penambahan bahan organik secara tetap dari seresah yang terdekomposisi
Manfaat Ekonomi
- Peningkatan kesinambungan hasil-hasil pangan, kayu bakar, pakan ternak, pupuk dan kayu pertukangan serta protein dari satwa liar yang ada di dalamnya
- Mengurangi terjadinya kegagalan total tanaman pertanian, yang biasa terjadi pada tanaman monokultur; dan
- Meningkatkan jumlah pendapatan pertanian karena peningkatan produktifitas dan kesinambungan produksi
- Terdapat lebih banyak fleksibilitas untuk mendistribusikan kegiatan kerja sepanjang tahun
- Kehadiran pepohonan dapat mengurangi biaya penyiangan
- Investasi ekonomi untuk melakukan penanaman pohon dapat dikurangi karena diperoleh keuntungan dari tanaman pangan musiman pada tahap awal pertumbuhan pohon.
- Para petani dapat memperoleh manfaat ekonomi langsung yang berasal dari pepohonan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kayu bakar, kayu pertukangan, buah-buahan, pakan ternak, hasil obat-obatan, dll
- Tanaman kayu-kayuan dapat dijadikan jaminan dan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pada keadaan mendesak atau pada saat diperlukan
Manfaat Sosial
- Peningkatan standar kehidupan di pedesaan melalui penyediaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan pendapatan yang lebih tinggi
- Peningkatan gizi dan kesehatan karena meningkatnya kualitas dan keanekaragaman hasil pangan; dan
- Stabilitas dan peningkatan pada masyarakat dataran tinggi dengan menghapuskan kebutuhan untuk memindahkan ladang dalam kegiatan pertanian
Keberadaan hutan memang menjadi
sangat penting untuk kebutuhan masyarakat. Banyak jasa yang diberikan hutan
yang dapat dimanfaatkan, seperti jasa yang diberikan oleh ekosistem hutan yang
nilai dan manfaatnya dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh
stakeholders. Dari wisata alam/rekreasi, perlindungan system hidrologi,
kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, kenyamanan
serta pendidikan, penelitian dan pengembangan. Pemanfaatan jasa lingkungan ini merupakan
kegiatan bisnis (usaha) yang tidak merusak/mengurangi fungsi pokok ekosistem
hutan dari usaha rekreasi hutan (wisata alam), usaha olahraga tantangan, usaha
pemanfaatan air, usaha carbon trade serta usaha penyelamatan hutan dan
lingkungan (penangkaran
bibit,
fauna dan flora).
Leuserwebfinish
(2006), menambahkan bahwa dampak perambahan hutan tersebut menyebabkan
terganggunya suplai air untuk kebutuhan air minum atau pertanian, selain itu
ekosistem satwa akan terganggu dan akan mengakibatkan konflik antara satwa dan
manusia, hal itu pasti akan menimbulkan akibat bagi masyarakat, baik masyarakat
sekitar kawasan hutan maupun masyarakat yang bergantung pada kelestarian
kawasan tersebut.
Manfaat Sosial – Ekonomi: (inter alia, silvopastoral / Infrastruktur
hijau):
Dalam
masyarakat sebagian besar kehidupan populasinya masih bergantung pada lahan,
perhatian pertama adalah harus ada pendapatan tahunan dan di sini usaha
agroforestry sangat berbeda dengan usaha “penanaman pohon” secara konvensional
(Dixon 1995, Leakey dan Sanchez 1997). Sebagai tambahan, masyarakat terus
bertambah untuk mencari solusi masalah sosial dan lingkungan dengan solusi
“hijau”. Dua contoh akan disajikan:
Silvopastoral
– Riset telah mempertunjukkan bahwa banyak tumbuhan makanan hewan akan menghasilkan
kualitas biomassa pada level yang tinggi apabila tumbuh di bawah naungan dengan
keteduhan mencapai 50 persen. Pengetahuan ini digunakan untuk mendisain sistem
timber/grazing agroforestry dalam tegakan jenis conifer. Sistem Silvopastoral
ini memungkinkan pohon untuk tumbuh sebagai produk jangka panjang, sementara
pada bagian lahan yang sama dapat memperoleh pendapatan tahunan yang dihasilkan
melalui penggembalaan ternak/pakan ternak (Clason dan Sharrow 2000).
Di dalam sistem silvopasture, pohon yang tumbuh
mempunyai kepadatan yang rendah sehingga memungkinkan sebagian cahaya matahari
menjangkau permukaan tanah untuk tumbuhnya makanan hewan. Manajemen hutan
dianjurkan untuk dilakukan pemangkasan dan penjarangan secara periodik sehingga
diperoleh tingkat pencahayaan yang sesuai. Sebagai akibatnya, akan menghasilkan
produk kayu berupa kayu gergajian atau vener dengan nilai dan kualitas yang
tinggi. Sedangkan petani akan selalu memperoleh diversifikasi ekonomi sebagai
motivasi utama untuk membangun silvopasture, manfaat lain meliputi pengendalian
erosi, peningkatan habitat satwa liar, dan pengikatan karbon. Sebagai tambahan,
pengaturan tegakan pohon dan tajuk yang rendah dimaksudkan untuk memperoleh
resiko yang rendah terhadap kerusakan oleh api liar.
Pemanfaatan
Tumbuhan
Bahan
pangan
Tercatat sebanyak 46 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai bahan pangan di antaranya adalah mangga (Mangifera indica),
kedondong (Spondias dulcis), durian (Durio zibethinus), durian
belanda (Annona muricata), nanas (Ananas comosus), manggis
(Garcinia mangostana), semangka (Citrulus vulgaris), labu (Cucurbita
moschata), petai (Parkia speciosa), jengkol (Pithecelobium
lobatum), kelapa (Cocos nucifera), nangka (Artocarpus
heterophyllus), tebu (Saccharum officinarum), kapuk (Ceiba petandra),
rambutan (Nephelium lappaceum), jeruk nipis (Citrus nobilis),
jambu air (Syzygium aquaeum), belimbing manis (Averrhoa carambola),
jambu biji (Psidium guajava), dan kluwih (Artocarpus communis).
Tanaman lain yang merupakan penghasil karbohidrat di antaranya adalah: ubi kayu
(Manihot utilissima), keladi (Colocasia esculenta), dan ubi jalar
(Ipomoea batatas).
Bahan
obat-obatan
Meskipun sudah ada Puskesmas, namun masyarakat di
daerah penelitian masih menggunakan pengobatan tradisional dengan memanfaatkan
tumbuhan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Tercatat 69 jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Sebagai
obat mencret mereka memanfaatkan daun muda dan buah delima beras (Psidium
guajava) dimakan segar. Sifat dan khasiat dari buah tersebut yaitu mempunai
daun yang rasanya manis, sifatnya netral, berkhasiat astringen, antidiare,
antiradang, penghenti perdarahan (hemostatis), dan peluruh haid. Buahnya
berkhasiat antioksidan karena mengandung beta karoten dan vitamin C yang tinggi
sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh (Dalimartha, 2000). Selain delima
beras, sering juga memanfaatkan biji buah pinang yang tua (Areca catechu)
dibakar dan dicampur dengan kunyit (Curcuma longa) kemudian digiling ditambah
air panas, air perasannya diminum. Bisa juga memakai daun sugourimau (Hyptis
capitata) diremas ditambah abu dapur dan garam sedikit kemudian dimakan.
Terdapat tumbuhan penghasil minyak atsiri yaitu
nilam (Pogostemon cablin) yang ditumpangsarikan dengan tanaman-tanaman
lain seperti cabe, kemiri, pisang, pinang, kacang panjang, pepaya dan
lain-lain. Minyak nilam diperoleh melalui proses penyulingan dan dimanfaatkan
sebagai bahan kosmetik
Kesimpulan
- Hutan mempunyai manfaat sebagai pelindung lingkungan yang berfungsi mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah erosi dan lain-lain. Air merupakan produk penting dari hutan.
- Masyarakat sekitar hutan pada umumnya merupakan masyarakat yang tertinggal, kondisi sosial ekonomi golongan masyarakat pada umumnya rendah
- Agroforestry merupakan teknologi kombinasi agrikultur/pertanian dan kehutanan untuk menciptakan lahan secara integral, produktif dan menggunakan sistem yang berbeda
- Agroforestry mempunyai kemampuan untuk menyediakan manfaat ekonomi jangka pendek; pada saat petani menunggu hasil kehutanan tradisional yang jangka waktunya relatif panjang.
- Dampak perambahan hutan menyebabkan terganggunya suplai air untuk kebutuhan air minum atau pertanian, selain itu ekosistem satwa akan terganggu dan akan mengakibatkan konflik antara satwa dan manusia
- Untuk meningkatakn taraf ekonomi masyarakat sekitar hutan perlu penerapan teknologi agar hutan tidak rusak.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta
Balai TNGL. 2006. Renstra Pengelolaan TNGL. File.
Tidak Diterbitkan. Medan
Balai TNGL. 2008. Pengungsi TNGL. File. Tidak
Diterbitkan. Medan
Darusman, D dan Didik, S.
1998. Kehutanan Masyarakat. Penerbit IPB dan The Ford Fundation. Bogor
Departemen Kehutanan. 1986. Buku Informasi Taman Nasional
Indonesia. Bogor
Direktorat Jenderal PHPA.
Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata. Departemen Kehutanan Bogor. Bogor
Departemen Kehutanan. 2006.
Info Sosial Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor
Dephut. 2007. Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007. Dari http://www.dephut.go.id (24
Desember 2008)
FWI dan GFW. 2001. Potret
Keadaan Hutan Indonesia. Bogor. Indonesia: Forest Watch Indonesia dan
Washington D.C: Global Forest Watch
Hairiah, K. dkk. 2003.
Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor
Irjayani, I.K, 2000. Tinjauan
Beberapa Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat. Dari
http://www.dephut.go.id/files/Berbasis_Masy.pdf. ( 24 Februari 2008)
Kotijah, S. 2006. Masyarakat Lokal dalam Sistem
Sertifikasi Hutan di Indonesia.
Darihttp://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKU
GAN_KEHUTANAN/info_5_1_0604/isi_3.htm. (22 Februari 2009)
Lahjie, A.M., 2001. Teknik Agroforestri. UPN “Veteran”
Jakarta (Grafika-UPNJ).
Mantra IB. 2004. Demografi Umum. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Marnaek, R.H. 2005. Pengaruh
Kondisi Sosial Ekonomi Masyrakat Terhadap Perilaku Pemanfaatan Hutan Mangrove
di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalifah, Kab.Sergai, Skripsi. USU. Medan
Mubyarto. 1991. Hutan,
Perladangan dan Pertanian Masa Depan. PT. Aditya Media. Yogyakarta
Noordwijk, M.V. et.al., 2003.
Agroforestry is a Form of Sustainable Forest Management : Lessons From South
East Asia. For delivey at : UNFF Intersessional Experts Meeting on the Role of
Planted Forests in Sustainable Forest Management Conference, 24-28 March 2003,
Wellington, New Zealand
Pristiyanto,
D. 2005. Taman Nasional menurut Ditjen PHKA. Dari
http://www.ditjenphka.go.id/kawasan/tn.php. (22 Februari 2009)
Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus
Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Rauf, A. 2001. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Agroforestry di
Kawasan Penyangga Ekosistem Leuser. Dalam Supriyono, Djoko dan Parjanto.
Pendidikan Agroforestry Sebagai Strategi Menghadapi Pemanasan Global.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hal.: 173-180
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian.
Cetakan ke-3. Penerbit alfabeta. Bandung.
Soeroto, M. A. 1983. Strategi Pembangunan dan Perencanaan
Tenaga Kerja. Gadjah Mada university Press. Yogyakarta
Suhardono, E.
2001. Panorama Survey. Gramedia Pustaka. Surabaya
Suparmoko, M. 2000. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Suatu Pendekatan Teoritis. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Waruwu,
F. A. 1984. Kesadaran Hukum Masyarakat Membantu Usaha Pelestarian Lingkungan.
Duta Rimba No. 56. Perum Perhutani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar