Sabtu, Desember 24, 2011



PENYIMPANAN KARBON DALAM TANAH
Alternatif Carbon Sink dari Pertanian Konservasi PESTISIDA SEBAGAI PENERAPAN PENGELOLAAN HAMA TERPADU




PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu negara berkembang pertama yang sudah merampungkan the first national communication dan sudah diserahkan ke sekretariat UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) bersamaan dengan diselenggarakannya Conference of Patries V (COP V) pada bulan November tahun 2001. Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi UNFCCC, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim global. Upaya-upaya tersebut antara lain : Indonesia harus melakukan inventarisasi gas-gas rumah kaca secara nasional. Inventarisasi yang dimaksud meliputi emisi gas-gas rumah kaca yang berasal dari sumber-sumbernya (energi, hutan, pertanian, dsb.) dan penyerapannya oleh rosotnya (sink) seperti penyerapan gas CO2 oleh hutan. Disamping itu informasi lain yang harus dikomunikasikan adalah langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan penyerapannya oleh rosotnya. Dokumen yang memuat hal-hal tersebut dikenal dengan dokumen National Communication on Climate Change.
Untuk melakukan inventarisasi gas-gas rumah kaca yang akan dimuat dalam the first national communication dipersyaratkan untuk menggunakan data tahun 1994 sebagai dasar perhitungan (base year). Agar dapat diperbandingkan dengan negara-negara lain maka inventarisasi dilakukan dengan metoda IPCC 1996 (Intergovernmental Panel on Climate Change). Metoda ini menggunakan berbagai asumsi dan emisi faktor yang tidak terlalu cocok untuk negara Indonesia. Namun demikian karena Indonesia belum memiliki metoda perhitungan sendiri maka tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan metoda IPCC 1996.
Adapun gas-gas rumah kaca yang dianggap paling berkontribusi terhadap gejala pemanasan global adalah CO2, CH4, N2O, NOX, CO, PFC dan SF6. Namun untuk Indonesia dua gas yang disebut terakhir masih sangat kecil emisinya, sehingga tidak diperhitungkan. Dari kelima gas-gas rumah kaca tersebut, CO2 memberikan kontribusi terbesar terhadap pemanasan global yaitu 82 % dan CH4 memberikan kontribusi 15 %. Tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer.
Tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global. Tanah menyimpan sekitar 1400 x 1015 gC (pada skala global) dan merupakan dua kali lipat biomasa hidup ataupun karbon atmosfer (Post et al, 1990). Penyerapan karbon oleh tanah merupakan salah satu cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di dalam atmosfer, sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim (climatic change). Penyerapan karbon ke tanah termasuk pengurangan karbon atmosfer yang diterima dibawah Kyoto Protocol.
Penyimpanan karbon dalam tanah merupakan penyimpanan karbon dalam bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa inornagik kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomasa tanaman. Secara berangsur biomasa tanaman ini secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan pada tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Banyak metode agronomi, kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi. Konservasi lahan marginal untuk hutan dan padang penggembalaan dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah.
IKLUS KARBON
Siklus Karbon Global
Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).
 
Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global
Lokasi
Satuan C (ton x 1010)
Udara
CO2-atmosfer
70
Darat
Biomass
59

Bahan organik tanah
85

Produksi bersih/tahun
6,3

Pelepasan dari fosil
0,5
Laut
Bomass
0,3

C-organik terlarut
100

C-anorganik (HCO3)
3.500

Produksi bersih/tahun
45
Sedimen
C-anorganik (HCO3)
2.000.000

Batu bara dan minyak
1.000

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmorfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997).
Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer.
Turnover Karbon Organik Tanah pada Berbagai Ekosistem
Karbon organik yang berada dalam berbagai ekosistem mempunyai turnover yang berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman / ekosistem dan pengelolaan yang dilakukan (misalnya pupuk dan tanpa pupuk) seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2. Pada hutan tropik produksi dan karbon yang masuk ke tanah paling tinggi, tetapi dengan turnover yang paling cepat menyebabkan C-tanahnya juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekosistem gamdum.
Pembukaan hutan menjadi areal pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah. Perubahan ekosistem hutan menjadi areal pertanian juga mengakibatkan terhadap penurunan produksi C-organik dan jumlah C yang masuk kedalam tanah sehingga terjadi penurunan kabon tanah secara drastis pada tahun-tahun awal konversi.


Tabel 2. Turnover karbon organik dari beberapa ekosistem.
Ekosistem
Produksi/tahun (ton/ha)
C-yang masuk kedalam tanah /tahun (ton/ha)
C-tanah (ton/ha)
Turnover (Tahun)
Gandum :




- Tanpa pupuk
2.6
1.2
26
22
- Pupuk
5.1
1.9
30
16
Prairi
2.8
1.7
52
31
Savana lembab
5.0
1.5
56
37
Hutan tropik
9 – 10
4.9
44
9
Hutan temperate
7.1
2.4
72
30

KARBON DALAM TANAH PERTANIAN
Sejarah Kehilangan Karbon
Tanah merupakan pol karbon yang penting didunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1.000 Pg sebagai karbon inorganik tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al, 1993). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan. Konversi hutan dan padang rumput menjadi areal budidaya tanaman dan peternakan mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20 – 50 % kandungan awalnya setelah diolah selama 40 – 50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah masa lalu sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensiv, penggunakan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Cole et al, 1993 dan Lal, 1995).
Perkiraan kehilangan karbon organik tanah pada masa lalu dari lahan pertanian di dunia (crop lands) berkisar dari 41 Pg (Houghton and Skole, 1990) hingga 55 Pg (Cole, 1996). Perkiraan kehilangan karbon organik tanah di atas menjadi level acuan (reverence level) terhadap potensial tingkat pemulihan atau penyerapan karbon kembali oleh tanah pada lahan pertanian dengan perbaikan pengelolaan. Dengan asumsi penyerapan kembali 50 % dari kehilangan karbon organik pada masa lampau, potensial penyerapan kembali tanah pertanian di dunia dalam 50 – 100 tahun mungkin pada tingkat 20 – 30 Pg (Cole, 1996). Jumlah tersebut sama dengan 7 – 11 % emisi dari pembakaran bahan bakar fosil pada tahun 1990, selama 50 tahun.
Kecepatan Perubahan Karbon Tanah
Sebagian besar kehilangan karbon dari tanah pertanian terjadi selama dekade awal setelah pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan karbon menurun sejalan dengan semakin menurunnya pol karbon yang mudah terdekomposisi dan adanya perbaikan secara berangsur pengelolaan lahan. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar tanah-tanah pertanian sekarang hampir hampir netral dalam kaitannya dengan emisi atau penyerap karbon. Berdasarkan simulasi komputer (Smith et al, 1997) menghasilkan bahwa kehilangan karbon organik dari tanah pertanian di Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan rata-rata kehilangan tersebut terus menurun. Evaluasi terhadap tanah-tanah pertanian di Amerika Serikat (Donigan et al, 1997) menyimpulkan bahwa kehilangan karbon telah berkurang dan tanah sekarang sudah mulai mengakumulasi karbon kembali. Penemuan ini dan dengan analisis tanah langsung dari peneliti lain, memberikan gambaran potensial untuk mencapai kembali tingkat kandungan karbon masa lalu yaitu transformasi tanah dari penghasil menjadi penyerap untuk CO2 atmosfer.

METODE PENINGKATAN PENYERAPAN KARBON
Metode Peningkatan Karbon Tanah
Penyerapan karbon merupakan penyimpanan karbon dalam tanah dalam bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa inornagik kalsium dan magnesium karbonat, sedangkan secara tidak langsung melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomasa tanaman. Secara berangsur biomasa tanaman ini secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan pada tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Banyak metode agronomi, kehutanan dan konservasi termasuk sebagai pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan fiksasi karbon di dalam tanah.
Untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah, metode pengelolaan lahan yang baru haruslah : 1) meningkatkan jumlah karbon masuk ke dalam tanah dalam bentuk residu tanaman, atau 2) menekan kecepatan dekomposisi bahan organik tanah. Pertama merupakan merupakan fungsi dari produksi tanaman dan proporsi produksi tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah sebagai serasah ataupun residu tanaman. Kecepatan dekomposisi dikontrol oleh keadaan lingkungan tanah seperti suhu, kelembaban, ketersediaan oksigen dan komposisi bahan organik, posisi bahan organik dalam profil tanah dan tingkat perlindungan secara fisik dalam agregar tanah.
Penyimpanan karbon di dalam tanah berubah karena erosi, yang menyebabkan redistribusi karbon pada lansekap. Pemecahan agregat menyebabkan peningkatan mineralisasi bahan organik yang sebelumnya terlindung dalam agregat. Bahan tererosi yang terdeposisikan pada suatu lansekap atau di dalam sistem perairan tidak semuanya dapat dianggap sebagai karbon yang hilang ke atmosfer. Untuk alasan yang sama, karbon tanah yang dapat dipertahankan dari penurunan erosi tidak dapat dihitung seluruhnya sebagai transformasi dari CO2 atmorfer.
Peningkatan Karbon pada Lahan Pertanian
Banyak strategi untuk meningkatkan karbon dalam tanah pertanian telah diidenfikasi (Tabel 3). Strategi tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat pendekatan utama : 1) mengurangi intensitas pengolahan tanah, 2) intensifikasi sistem pertanaman, 3) adopsi metode peningkatan hasil, seperti perbaikan sistem pemupukan, dan 4) penggunaan tanaman tahunan.

Penurunan Intensitas Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon karena beberapa mekanisme : 1) merusak agregat tanah yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi, 2) menstimulasi aktivitas mikroba dengan perbaikan aerasi tanah, 3) mencampur bahan organik segar kedalam tanah yang kondisinya lebih menguntungkan untuk dekomposisi daripada dipermukaan tanah. Pengolahan tanah dapat menyebabkan tanah lebih mudah tererosi, mengakibatkan kehilangan karbon melalui erosi. Adopsi pengolahan tanah minimum dan tanpa olah tanah menghasilkan akumulasi karbon tanah (Lal et al, 1998a dan Paustin et al, 1997b). Peningkatan karbon tanah dengan pengurangan pengolahan tanah ini juga dapat meningkatkan produksi melalui perbaikan retensi air/kelembaban tanah.
Tabel 3. Praktek pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan karbon tanah
Praktek Pengelolaan (per unit area)
Kelayakan *)
Relatif perolehan karbon
Lahan Pertanian


-Adopsi minimum/tanpa olah tanah
T
S (areal luas)
Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan produksi
T
R
-Rotasi dengan tanaman pakan ternak
S
S
-Perbaikan varietas
S
S
-Amandemen bahan organik
S
S
-Irigasi
R
T
Lahan yang divegetasikan kembali


-Rumput tahunan
R
T
-Vegetasi penutup tanah
T
T
-diubah ke woodland
R
T
Padang gembalaan


Perbaikan cara gembalaan
S
S
-Aplikasi pupuk
T
S
-Penggunaan spesies/varietas unggul
S
S
- Irigasi
R
S
Lahan terdegradasi


-Diubah ke vegetasi awal
S
T
-Ditanami fast growing crop
S
T
-Aplikasi pupuk
T
S
-Aplikasi amandemen pupuk organik
S
T
-Drainase/pencucian tanah salin
R
R
Keterangan : T = Tinggi, S=sedang, R=rendah
Intensifikasi Sistem Pertanaman
Banyak sistem pertanaman dapat diintensifkan untuk meningkatkan aktivitas photosintesis. Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan, semak dan terutama pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena tanaman tersebut meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah, tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui pendinginan akibat penaungan.
Aplikasi Tindakan Agronomi
Aplikasi pemupukan dan pemberian amelioran bahan organik meningkatkan penyerapan karbon dengan peningkatan produksi dan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah (Paustian et al, 1997b). Tindakan agronomi yang lain yang mampu meningkatkan produksi termasuk perbaikan varietas tanaman, pengendalian hama yang lebih baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien, dan perbaikan pengelolaan air dapat meningkatkan karbon tanah dengan menyediakan jumlah residu yang lebih besar yang dapat dikembalikan ke dalam tanah.
Revegetasi Lahan
Pertanian dengan tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan karbon tanah. Peningkatan karbon tanah disebabkan karena minimnya kerusakan fisik tanah akibat pengolahan dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik dari pol di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah (Paustin et al, 1997b). Besarnya akumulasi karbon sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi.
Quideau et al (1998) dalam penelitiannya menggunakan lisimeter mendapatkan bahwa setelah empat dekade perkembangan tanah pengikatan karbon berkisar antara 5.552 – 17.561 g/m2 dan yang terakumulasi di dalam profil tanah 0-1 meter sebesar 900 – 3.800 g/m2 (Tabel 4). Pengikatan karbon di atas tanah dan di dalam profil tanah berbeda antara vegetasi capparal (Oak, Ceanothus dan Chamise) dengan pinus, dimana Capparal yang berdaun lebar menghasilkan karbon organik yang lebih tinggi di bagian atas tanah dan di dalam horison A, sedangkan pinus menghasilkan konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi di horison bawah.
Tabel 4. Perubahan karbon organik (g m-2) pada empat lisimeter selama empat dekade
Karbon organik
Biomasa bag. Atas tanah
Batang Ranting
Serasah
Tanah
(0-1m)
Total
Pinus
13.729
1.250
518
2.030
17.527
Oak
12.009
1.302
490
3.760
17.561
Ceanothus
4.808
602
408
1.398
7.216
Chamise
2.750
578
322
902
4.552
Walapun revegetasi dari lahan pertanian dengan tanaman pohon-pohonan dapat menyerap karbon sangat tinggi per unit lahan, tetapi memerlukan pengurangan area produksi tanaman semusim. Hal ini merupakan kendala penerapannya dalam skala yang luas untuk penyerapan karbon.
Peningkatan Karbon pada Padang Gembalaan
Tanah yang telah mengalami penurunan karbon tanahnya pada masa lalu akibat pengelolaan yang kurang baik, telah diolah dan digunakan untuk produksi tanaman semusim akan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk penyerapan karbon. Faktor pengelolaan lahan akan mempengaruhi tingkat kandungan karbon di dalam tanah.
Pada padang penggembalaan yang dikelola dengan baik, dimana produktivitas dan pengelolaan input relatif tinggi, terdapat peluang untuk meningkatkan karbon tanah. Praktek pengelolaan yang dapat meningkatkan karbon tanah pada padang gembalaan yaitu melalui rotasi penggembalaan dan penggunaan pupuk, irigasi dan penggunaan benih dari spesies yang unggul.
Peningkatan Karbon pada Lahan Terdegradasi
Problem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parak di daerah tropis dari pada temperate, di daerah kering dari pada daerah basah, dan iklim panas dari pada dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2 miyar hektar dan 75 % berada di daerah tropis (Oldeman, 1994). Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinisasi, kerusakan karena pertambangan dan aktivitas perkotaan, penggembalaan berlebih dan kontaminasi dari polutan industri (Lal, 1997).
Perbaikan terhadap lahan terdegradasi meliputi penanaman dengan vegetasi asal, penanaman tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh, penggunaan pupuk organik dan anorganik, Apabila bahn organik tanah keadaannya telah mengalami penurunan yang sangat drastis, sedangkan kemampuan tanah untuk mengikat bahan organik masih berfungsi maka perbaikan dengan peningkatan bahan organik tanah. Tingkat penyerapan karbon melalui resptorasi tanah sangat ditentukan oleh sifat-sifat tanah, metode restorasi yang dilakukan, karakteristik eko-regional, dan pol karbon organik awal di bawah kondisi alaminya.
POTENSIAL PENYIMPANAN KARBON
Lahan Pertanian
Tingkat perolehan karbon setelah mengadopsi metode perbaikan pengelolaan tanah sangat bervariasi tergantung jenis tanah, Hasil dari 27 penelitian di Amerika mendapatkan bahwa peningkatan karbon dalam tanah pada tanpa olah dibanding cara konvensional setelah 5 – 20 tahun berkisar dari –4 sampai + 10 juta gram per hektar (rata-rata + 3 x 106 g/ha) (Paustian et al, 1997b).
Variasi respon disebabkan oleh beberapa faktor :
  1. Status karbon tanah awal. Tanah yang telah mengalami penurunan secara drastis karbon tanahnya karena pengelolaan yang kurang baik di masa lampau, memberikan potensial penyerapan karbon di dalam tanah yang lebih besar jika tanah dikelola dengan lebih baik.
  2. Kondisi iklim. Tingkat penyerapan karbon jauh lebih tinggi di lingkungan dengan produktivitas yang tinggi. Tingkat penyerapan karbon terhambat di dalam lingkungan yang produktivitasnya terhambat karena iklim yang dingin ataupun iklim yang kering.
  3. Variabel agronomi. Jumlah karbon yang dapat diperoleh sebagai respon dari pengelolaan tanah-minimum dan tanpa olah tanah ditentukan juga oleh praktek agronomi yag lain seperti aplikasi pemupukan dan cara penanaman.
Disamping respon yang bervariasi, rata-rata akumulasi karbon dapat diperkirakan dengan akurasi yang dapat diterima dari data jangka panjang sekitar 0.3 Mg/ha/th. Untuk memperkirakan potensial akumulasi karbon di dalam tanah selama dekade awal hingga 2020, dengan asumsi menerapkan teknik konservasi karbon., pada lahan tidak terdegradasi dengan hambatan iklim kering dan dingin sebesar 0.2 Mg/ha/th, sedangkan pada pada tanah yang lain tanpa hambatan iklim sebesar 0.4 Mg/ha/th. Di Amerika dan Kanada total penyerapan karbon tanah pertanian yang tidak terdegradasi 765 Tg C selama dua dekade.
Lahan yang Dikonversi
Pada lahan yang dikonversi dari lahan pertanian menjadi padang rumput atau ditanami tanaman tahunan penutup tanah umumnya menghasilkan penyerapan karbon yang tinggi. Dari 14 Mha lahan yang ditanami rumput atau tanaman tahunan sejak 1985 - 1995 di Amerika bagian Tengah dan Barat menunjukkan tingkat penyerapan karbon rata-rata 0.10 – 0.40 Mg/ha/th bahan organik tanah dan 0,25 –1,35 Mg/ha/th total karbon di dalam tanah, termasuk perakaran (Paustin et al, 1995 dan Gomez, 1995). Tingkat akumulasi karbon akan menurun dengan waktu, sebagian besar penyerapan karbon dalam bentuk akar dan serasah tanaman.
Berdasarkan perkiraan ini dan nilai lain dalam literatur (Paustian et al, 1997b), memperkirakan bahwa rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar 0.8 Mg/ha/th di dalam awal setelah konversi. Di daerah tropika penanaman lahan pertanian dengan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon 250 – 500 kw/ha dalam jangka waktu 4 – 12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 1989), seperti yang disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata jumlah bahan organik bagian atas tanaman penutup tanah
(Arsyad, 1989).

Jenis tanaman penutup
Jumlah bahan organik (kw/ha)
Jangka waktu (bulan)
1. Colopogonium muconoides
200
5 – 6
2. Centrocema
400
4 – 5
3. Mimosa
300
7 – 8
4. Crotalaria
500
6 – 10
5. Tepohrosia candida
400
8 – 10
6. Leucaena glauca
250
12

TEKNIK MEMPERKIRAKAN POTENSIAL PENYERAPAN KARBON
Pengukuran Langsung
Penentuan penyerapan karbon oleh tanah secara langsung dilakukan dengan cara mengukur perubahan karbon di dalam tanah menurut waktu. Pengukuran langsung sangat rumit karena adanya variasi kandungan karbon tanah secara temporal dan spasial, serta perubahan yang relatif lambat dari kandungan karbon tanah. Karbon tanah dalam skala lapang bervariasi menurut variasi topografi dan bahan induk ataupun karena perbedaan vegetasi dan sejarah pengelolaan. Walaupun di dalam lahan yang kelihatannya seragam, kandungan karbon organik tanah dapat bervariasi sebesar 100 % (Elliot, 1994). Proses pertumbuhan tanaman dan dekomposisi menurut musim dapat menyebabkan variasi temporal fraksi karbon, dalam akar, serasah dan biomasa mikrobiologi. Perubahan jangka pendek (seperti, tahunan) dalam karbon total akan sulit atau tidak mungkin dideteksi berkaitan dengan jumlah karbon yang sudah ada di dalam tanah yang sangat besar.
Problem yang banyak tersebut di atas dapat diatasi melalui penggunaan desain pengambilan sampel dan prosedur analisis uang baik yang dapat meminimumkan efek variasi spasial dan temporal serta menstandarkan penyiapan sampel tanah. Pengukuran fraksi karbon tanah tertentu mungkin berguna sebagai indikasi awal perubahan (Lal, 1997), walaupun masih diperlukan periode monitoring pada beberapa tahun untuk verifikasi perubahan total karbon tanah.
Sebagian besar perubahan karbon tanah di dalam tanah pertanian dihasilkan dari percobaan lapang dalam jangka waktu yang lama (Paul et al, 1997). Dengan perlakuan yang didesain secara ramdom, perbedaan dalam karbon tanah secara statistik berbeda sebagai fungsi perbedaan praktek pengelolaan pertanian. Secara umum, pengukuran langsung karbon tanah akan memberikan manfaat paling tinggi pada skala lapang (farm), tetapi dapat membantu di dalam verifikasi estimasi dalam skala regional maupun nasional.
Permodelan
Permodelan matematis dinamika karbon tanah relatif sudah berkembang dengan sangat baik, kususnya untuk tanah pertanian. Beberapa model telah digunakan untuk menginvestigasi variasi karbon organik tanah pada berbagai region dan lansekap sebagai fungsi dari iklim, vegetasi, topografi, tanah dan faktor lingkungan yang lain. Karbon tanah berubah sebab perubahan praktek pengelolaan (seperti pengolahan tanah, tipe tanaman dan rotasi, pemupukan dan aplikasi ameloran bahan organik) telah dapat dimodelkan dengan baik.
Model simulasi yang sudah secara luas dipergunakan, sebagian besar mengkonsepkan bahan organik tanah ke dalam 3 – 4 fraksi berdasarkan variasi sifat fisik dan kimia yang mempengaruhi tingkat turnover-nya, seridu tanaman dibagi menjadi 2 – 5 fraksi yang bervariasi di dalam kemudahan terdekomposisi. Faktor-faktor lingkungan yang mengontrol karbon organik tanah di dalam sebagian besar model meliputi temperatur dan kelembaban tanah, aerasi dan drainase tanah, tekstur dan mineralogi tanah. Tingkat input bahan organik berupa residu tanaman, pupuk organik dan aplikasi yang lain merupakan penentu utama tingkat karbon organik tanah.
Beberapa model mensimulasikan pertumbuhan tanaman dan input residu secara langsung, sedangkan yang lain memerlukan secara spesifik tingkat penambahan bahan organik sebagai input ke dalam model. Penggunaan model beragam dalam aplikasi dari level lapang (field level) (Jenkinson et al, 1987), hingga level regional (Parton et al, 1987) dan tingkat global (King et al, 1996).
Kelly et al (1997) mendapatkan bahwa Century SOM Model telah berhasil mensimulasikan karbon organik tanah dengan baik pada sebaran iklim dan penggunaan lahan yang bervariasi dengan dibandingkan eksperimen jangka panjang. Century SOM Model menggunakan empat pol karbon organik tanah. Pembagian fraksi karbon tanah berdasarkan karakteristic dekomposisi karbon organik tanah atau tingkat turnover-nya.
Kuantifikasi dan Verifikasi Model
Banyak permodelan karbon tanah telah sangat berhasil di dalam mensimulasikan dinamika karbon dalam skala lapang, tetapi mereka umumnya memerlukan kalibrasi pada site yang spesifik. Sebagai contoh, perlakuan kontrol dalam eksperimen jangka panjang dapat digunakan untuk mengkalibrasi input model atau kondisi awal yang digunakan untuk mensimulasikan secara bebas perlakuan lain di dalam percobaan lapang (Smith et al, 1997b). Prosedur semacam ini dapat membentuk kepercayaan di dalam konsistensi internal dari model, tetapi tidak merupakan pengujian validasi yang tegas. Beberapa tingkat kalibrasi mungkin tidak dapat dihindari karena tidak menentuan tentang sejarah pengelolaan dan tingkat input bahan organik dimasa lalu. Namun demikian, pendekatan penggunaan model simulasi dengan ditunjang oleh jaringan kerja (networks) regional dari percobaan lapang dalam jangka waktu yang lama (Paustian et al, 1995) dan titik-titik pemantauan pada tingkat lapangan untuk verifikasi model menjadi sangat menjanjikan.
Kerangka kerja untuk kuantifikasi dan verifikasi model haruslah mengintegrasikan : 1) data dari percobaan lapang dalam jangka waktu yang lama, 2) data dasar iklim, tanah, penggunaan lahan, dan managemen lahan secara spasial, 3) model kuantitatif untuk menghitung perubahan karbon tanah, 4) proses pembelajaran untuk mendukung penghalusan model, dan 5) titik-titik sampel lapang (on farm) yang terlokalisasi untuk tujuan monitoring. Berdasarkan pengetahuan terbaik yang sudah ada dari penelitian-penelitian.
KESIMPULAN
Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca tahun 1994 di Indonesia, diketahui bahwa emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994.
Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang (20 – 50 tahun) di dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi lahan marginal untuk hutan dan padang penggembalaan dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu memeberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor
Cole CVK. 1996. Agricultural option for mitigation of greenhouse gas emissions. Climate Change 1995. Impacts, Adaption and Mitigation of Climate Change. Cambridge University Press: 1-27.
Donigan AS, AS Patwardhan, RV Chinaswany, dan TO Barnwell. 1997. Modeling soil carbon and agricultural practices in the central US. In Soil Processes and Carbon Cycles. p. 499-518. CRC Press, Boca Raton.
Eswaran H, E Van Den Berg et al. 1993. Organic Carbon In Soils of The World. Soil Sci. of American J. 57:192-194.
Gomez B. 1995. Assesing the impact of the 1985 farm bill on sedimen-related non-point source pollution. J. Soil Water Conserv. 50 : 374-408.
Houghton, RA and DL Skole. 1990. Karbon. In Turner BS, WC Clark, RW Kates, JF Richards, JT Mathews, and WB Meyer. The Earth and Transformed by Human Action. Cambridge Univ. Press. NY:393-408.
Jenkinson DS, PBS Hart, JH Rayner, dan LC Parry. 1987. Modeling the turnover of organic matter in the long-term experiments at Rothamsted. INTECOL Bulletin 15, 1-8.
Kelly RH, WJ Parton, GJ Crocker, PR Grace, J Klir, Mkorschen, PR Poulton dan DD Richter. Simulating trends in long-term experiments using the century model. Geoderma 81: 75-90.
King AW, WM Post, dan SD Wllschleger. 1996. The potensial response of terrestrial carbon storage to changes in climate and atmospheric CO2. Climate Change 35: 199-228.
Lal R. 1997. Degradation and resilience of soils. Phil. Trans. Roy. Soc. B. 352:997-1010.
Lal R. 1998. Residu management, conservation tillage, and soil restoration for mitigating greenhouse effect by CO2 enrichment. Soil Till.Res.
Oldeman LR. 1994. The global extent of soil degradation. In DJ Greenland and I Szaboles (eds), Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB International, Wallington, US: 99-118.
Parton WJ, DS Schimel, CV Cole, dan DS Ojima. 1987. Analysis of factors controlling, soil organic matter levels in Great Plains grass-land. Soil Sci. Soc. Am. J. 51:1173-1179.
Paul EA, K Paustian, ET Elliot and CV Cole. 1997. Soil organic matter in temperate agroecosystems : long-term experiments in North America. CRC Press, Boca Raton, FL.
Paustian K, et al, 1995. Assesement of the contributions of CRP lands to C sequestration. Am. Soc. Of Agronomy, madison, 136.
Paustian K, HP Collin and E Paul. 1997a. Management controls on soil carbon. In Paul EA, K Paustian, ET Elliot and CV Cole. Soil organic matter in temperate agroecosystems : long-term experiments in North America. CRC Press, Boca Raton, p. 15-49.
Paustian K, O Andren, H Janzen, R Lal, P. Smith, G Tian, H Tiessen, M van Noordwijk and P Woomer. 1997b. Agricultural soil as a C sink to offset CO2 emissions. Soil Use and Management, 13: 230-244.
Quideau SA, RC. Graham, OA Chadwick, and HB Wood. 1998. Organic carbon sequestration under chaparral and pine after four decades of soil development. Geoderma 83: 227-242
Smith WN, P Rochette, C Monreal, RL Desjardins, E Tattey and A Jaques. 1997. The rate of carbon change in agricultural soils in Canada at the landscape level. Canadian J. of Soil Sci. 77:219-229.
Vlek PLG. 1997. Water and nutrient cycles in the tropics. Gottingen, Germany.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUBUNGAN AIR, TANAH & TANAMAN. - ppt download

HUBUNGAN AIR, TANAH & TANAMAN. - ppt download : Lingkaran Tanah-Air-Tanaman LTAT mrpk sistem dinamik dan terpadu dimana air mengalir d...