Sabtu, Desember 24, 2011


PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK UNTUK MENGARAH PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK YANG BERKELANJUTAN.

I. PENDAHULUAN

Pertanian konvensional sekarang ini digunakan hampir di seluruh kegiatan pertanian yang ada di Indonesia. Pertanian konvensional adalah praktik kegiatan budidaya pertanian yang lahir dari evolusi hijau. Revolusi hijau menganjurkan perubahan dalam praktik-praktik budidaya pertanian tradisional sebagai jawaban atas pemenuhan kebutuhan produk pertanian yang semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Revolosi hijau yang telah berhasil merubah pola pertanian dunia secara spektakuler. Petani mulai berpaling meninggalkan penggunaan pupuk organik, berubah ke penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi hara tinggi. Dengan revolosi hijau tersebut, produksi pangan dunia meningkat dengan tajam, sehingga telah berhasil mengatasi kekhawatiran dunia akan adanya krisis pangan dalam dua-tiga dasawarsa terakhir.
Peningkatan produksi pangan tersebut disebabkan pola input intensive atau teknologi masukan tinggi yang salah satunya dicirikan dengan penggunaan agrokimia yang berupa penggunaan pupuk buatan dan pestisida yang tinggi, dan penggunaan varietas unggul yang dicirikan oleh umur pendek dengan hasil tinggi, sehingga terjadi pengurasan hara dalam kurun waktu yang pendek relatif tinggi. Akibat dari perubahan pola budidaya ini, menyebabkan kebutuhan pupuk dunia melonjak sangat pesat dari tahun ke tahun termasuk Indonesia (Suntoro, 2003).
Keberhasilan-keberhasilan itu membuat  praktik pertanian tersebut dianggap baik, namun seiring dengan berjalannya waktu dan peningkatan pengetahuan masyarakat menjadikannya sesuatu yang tidak baik. Penggunaan bahan-bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) kemampuan tanah dalam menyediakan unsure hara. Penggunaan pupuk buatan yang berkonsentrasi tinggi yang tidak proporsional ini, akan berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah (Notohadiprawiro, 1989), sehingga akan memungkinkan terjadinya kekahatan hara lain (Suntoro, 2003).
            Di samping itu, petani mulai banyak yang meninggalkan penggunaan pupuk organik yang berdampak pada penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan (Juarsah, I. 1999). Dilaporkan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen (Sugito, et al., 1995).
Tanaman utama pertanian di Indonesia adalah padi. Padi merupakan tanaman pangan yang menghasilkan beras sebagai sumber makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Namun Intensifikasi padi dengan asupan pupuk kimia dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu lama, serta kurangnya memperhatikan penggunaan bahan organik dalam sistem produksi padi sawah telah mengakibatkan terganggunya keseimbangan hara tanah yang berakibat terhadap penurunan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri. Gejala ini terlihat dibeberapa wilayah sentra produksi padi, dimana terjadi pelandaian produktivitas, bahkan secara nasional pada beberapa tahun terakhir ini produksi padi cenderung melandai. Pelandaian produksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, terutama penggunaan pupuk yang sudah melampaui batas efisiensi teknis dan ekonomis (Adiningsih dan Soepartini, 1995 cit joko, 2001).
Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain: (1) Menghindari penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis (3) Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman, dan (6) Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak (Deptan, 2002).
 pertanian organik bersamaan dengan bangkitnya kesadaran masyarakat dunia akan perlunya pemanfaatan sumber energi yang terbarukan dan sejalan dengan makin meningkatnya dampak negatif dari pertanian modern. Pendapatan masyarakat yang meningkat dan semakin tingginya tingkat pendidikan mendorong kesadaran mereka akan arti pentingnya pola makanan sehat. Trend pertanian organik di Indonesia, mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistim pertanian organik.
Pada dasarnya pertanian organik bertujuan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan lingkungan, peningkatan nilai tambah ekonomi produk pertanian dan pendapatan petani. Penggunaan pupuk hijau, pupuk hayati, peningkatan biomasa, penyiapan kompos yang diperkaya dan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit secara hayati diharapkan mampu memperbaiki kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, tetapi aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsi (Sutanto, 2002).
Pertanian organik mengacu pada bentuk-bentuk pertanian dengan berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya 1okal yang ada dan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya biologi fisik, dan manusia. Perhatian utama dalam pemanfaatan input luar diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan (Reijntjes et al.1999).
Indonesia memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap beras sebagai makanan pokok masyarakatnya. Tingginya kebutuhan terhadap beras membuat kebutuhan terhadap lahan pertanian padi yang produktif juga tinggi. Keberlanjutan produksi pertanian padi sangat bergantung pada pemupukan yang intensif dan berkelanjutan. Pembudidayaan padi sawah dengan menggunakan pupuk kimia yang berlebihan dan terus menerus perlu ditinjau kembali karena selain tidak efisien dari segi biaya juga mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem peranian organik yang memanfaatkan pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman terhadap lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi lingkungan dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat meningkatkan kwalitas tanah (Stockdale et al., 2002 cit Dermiyati, 2009).


II. TINJUAN PUSTAKA

Indonesia memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap beras sebagai makanan pokok masyarakatnya. Tingginya kebutuhan terhadap beras membuat kebutuhan terhadap lahan pertanian padi yang produktif juga tinggi. Tanaman padi merupakan tanaman pokok dibeberapa negara, termasuk indonesia. Kebutuhan beras saat ini sekitar 34juta ton beras setara dengan 54 juta ton gabah kering giling, dengan laju pertambahan penduduk sekitar 1.49%. Maka jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 296 juta jiwa dan kebutuhan beras sekitar 4.5 juta ton yang setara dengan 65.8 juta ton gabah kering giling.
Keberlanjutan produksi pertanian padi sangat bergantung pada pemupukan yang intensif dan berkelanjutan. Pembudidayaan padi sawah dengan menggunakan pupuk kimia yang berlebihan dan terus menerus perlu ditinjau kembali karena selain tidak efisien dari segi biaya juga mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penanaman padi yang sangat intensif dengan pemupukan yang terus menerus tidak saja menyebabkan tingginya residu pupuk, tetapi juga meningkatkan kandungan logam berat tertutama Pb (plumbun) dan Cd (cadmium). Kasno et al. (2003) mengidentifikasi 21-40% lahan sawah di jalur Pantura, Jawa Barat, dikategorikan terpolusi atau terkontaminasi oleh kedua jenis logam berat tersebut, bahkan 4-7% di antaranya dikategorikan terkontaminasi berat (> 1,0 dan > 0,24 ppm) (Irsal et al, 2006).
Usaha tani padi konvensional merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan lingkungan dari residu pupuk dan pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan, serta sebagai penghasil gas rumah kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O, dan CO2, khususnya di lahan sawah dan lahan rawa pasang surut yang saat ini luasnya sekitar 8,50 juta ha atau 6,50% dari luas total sawah dunia. Walaupun proporsinya tidak sebesar di sektor industri, GRK yang terbentuk di lahan sawah dilaporkan ikut menyumbang terhadap pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim. Berbagai penelitian memperkirakan emisi gas metana berkisar antara 3,20−5,80 Tg/ tahun (Taylor et al. 1993), bahkan sumber lain menyebutkan 9,80 Tg/tahun (Bachelet dan Neue 1992; Husin 1994). Melalui penelitian jangka panjang, Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dan Badan Litbang Pertanian memperkirakan emisi gas metana dari lahan sawah sekitar 12% dari total emisi metana (Makarim et al. 1996).
Sistem peranian organik yang memanfaatkan pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman terhadap lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi lingkungan dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat meningkatkan kwalitas tanah (Stockdale et al., 2002 cit Dermiyati, 2009).  Menurut Karama et al. (1990) dalam Suhartatik dan Sismiyati, 2000) mengemukakan bahwa bahan organik memiliki fungsi-fungsi penting dalam tanah yaitu; fungsi fisika yang dapat memperbaiki sifat fisika tanah seperti memperbaiki agregasi dan permeabilitas tanah; fungsi kimia dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi penyerapan P; dan fungsi biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas jasad renik tanah. Mengingat begitu penting peranan bahan organik, maka penggunaannya pada lahan-lahan yang kesuburannya mulai menurun menjadi amat penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya lahan tersebut.
Menurut Hairiah (2002), pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian alternatif untuk menanggulangi krisis pertanian konvensional. Sutanto (2006) juga menyatakan, pertanian organik merupakn sebagai suatu sistem produksi pertanian berdasarkan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara melalui saran limbah tanaman, ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki kesuburan dan struktur tanah.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982 cit Suntoro, 2003). Pada tanah pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar (Scholes et al., 1994 cit Suntoro, 2003). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Mekanisme pembentukan egregat tanah oleh adanya peran bahan organik ini dapat digolongan dalam empat bentuk: (1) Penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya fraksi lempung; (2) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif (karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); (3) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagianbagian negatif dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organik berantai panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; (4) Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negative dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino) senyawa organik berantai panjang (polimer) (Seta, 1987 cit Suntoro 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asamhumat lebih bertanggung jawab pada pembentukkan agregat di regosol, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kemantapan agregat tanah (Pertoyo, 1999 cit Suntoro, 2003).
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan negative sehingga akan meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KPK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah (Stevenson, 1982). Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH)nya (Brady, 1990). Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 t ha –1 pada Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KPK tanah dari 17,44 menjadi 20,08 cmol (+) kg –1 (Cahyani, 1996).
Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip (-COOH2+ dan -OH2+), sehingga koloid koloid yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya KPK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-, akibatnya terjadi pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan negative (-COO-, dan –O), sehingga KPK meningkat (Parfit, 1980). Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al., 1999 cit Suntoro 2003).
Fraksi organik dalam tanah berpotensi dapat berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara nonbiologis, yaitu dengan cara mengadsorbsi pestisida dalam tanah. Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui: pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan adsorbsi pestisida dengan bahan organik : (1) karakteristik fisika-kimia adsorbenya (koloid humus), (2) sifat pestisidanya, dan (3) Sifat tanahnya, yang meliputi kandungan bahan organik, kandungan dan jenis lempungnya, pH, kandungan kation tertukarnya, lengas, dan temperatur tanahnya (Stevenson, 1982 cit Suntoro, 2003).
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penamhan bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001; Cahyani., 1996; dan Dewi, 1996 cit Suntoro, 2003). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu dan relatif kecil. Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk dilepas dan dapat digunakan tanaman. Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama akan mengalami peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, yang selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik (mineral) yang utama dalam tanah (Tisdel dan Nelson, 1974). Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitritasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi. Nitrat merupakan hasil proses mineralisasi yang banyak disukai atau diserap oleh sebagian besar tanaman budidaya. Namun nitrat ini mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas) (Killham, 1994 cit Suntoro, 2003).
Nitrogen merupakan unsur kimia dan komponen utama yang penting dalam tanaman, protoplasma sel mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi, dan juga merupakan unsure pokok protein, asam amino, almida dan alkolida. Klorophil juga mempunyai unsure nitrogen, jika dalam keadaan dibawah optimal ada kecendrungan nitrogen akan ditransfer ke jaringan yang lebih muda, yang secara fisiologis merupakan daerah aktif titik tumbuh.
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melaui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan ketersediaan P di dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi seperti tersebut di bawah ini: (1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral (PO4 3-); (2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak larut menjadi bentuk terlarut,
Al (Fe)(H2O)3 (OH) 2 H2 PO4 + Khelat ===> PO4 2- (larut) + Kompleks AL-Fe- Khelat (Stevenson, 1982). (3). Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs pertukaran; (4). Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan organik asli tanah; (5). Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik secara lemah.

Untuk tanah-tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca dan Mg fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan CO2 dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan kelarutan P menjadi lebih meningkat, dengan reaksi sebagai berikut :
CO2 + H2O ====== > H2CO3
H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3 + H2PO4 –
Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga dapat berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas dan tersedia bagi tanaman.
Hasil proses penguraian dan mineralisasi bahan organik, di samping akan melepaskan fosfor anorganik (PO4 3-) juga akan melepaskan senyawa-senyawa P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan diduga senyawa P-organik ini, tanaman dapat memanfaatkannya. Proses mineralisasi bahan organik akan berlangsung jika kandungan P bahan organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah kurang dari 200, akan terjadi mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari 300 justru akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson, 1982).
Fosfor adalah komponen asam nukleat, yang berfungsi untuk mengatur proses perkembangan, defisiensi unsur ini akan menghambat pertumbuhan, dan juga mempengaruhi pertumbuhan akar. Fosfor juga merupakan komponen berbagai system fisiologis yang berhubungan dengan nutrisi dan respirasi dan juga mempengaruhi pemasakan buah, dan elemen ini dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk efisiensi penggunaan nitrogen. Fosfor mempunyai peranan penting dalam pemecahan karbohidrat dan makanan lainnya yang dihasilkan akibat proses fotosintesis dalam tanaman. Kekurangan fosfor akan menghambat fotosistesis dan membatasi kemampuan tanaman untuk memproduksi karbohidrat, peranan fosfor dalam proses pertumbuhan tanaman sebagai berikut :
1.                  Stimulasi pertumbuhan awal akar dan perkembangannya
2.                  Mempercepat tanaman untuk menghasilkan
3.                  Produksi buah dan biji.
            Las et al (1999) cit Arafah (2004), menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi. Menurut arifin et al (1993) cit arafah (2003), bahwa pemberian 5.0 t/ha jerami dapat menghemat pemakaian pupuk KCl sebesar 100 kg/ha. Sedangkan Adiningsih (1984) (1993) cit arafah (2003), melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami sebanyak 5 t/ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 hg K, 160 kg Mg dan 200 kg Si. Menurut Sharma dan Mittra (1991) penggunaan jerami sebagai sumber kalium cenderung lebih efaktif. Hali ini diperkuat oleh Dobermann dan Fairhurt (2000) bahwa kandungan hara tertinggi dalam selain jerami selain Si (4-7%) adalah kalium, yaitu sekitar 1.2-1.7%, sedangkan lainnya adalah N (0.5-0.8%), P (0.07-0.12%), dan S (0.05-0.10).
            Percobaan pemberian bahan organik berupa legum Phaseolus llinntus L pada tanah Grumusol rata-rata jumlah malai, bobot gabah, bobot gabah bernas, dan nisbah gabah dan jerami cenderung lebih tinggi pada perlakuan pupuk 135 kg N/ha dengan bahan organik 5 ton/ha. Perlakuan bahan organik 5 ton/ha berpengaruh nyata meningkatkan N dalam jerami serta gabah sebesar 0.5%, sedangkan untuk Zn terjadi kenaikan masing-masing sebesar 20.3 ppm dan 14.0 ppm. Rata-rata kadar C-organik dan N-total tanah setelah panen cenderung lebih tinggi pada perlakuan bahan organik 5 ton/ha (Listiawati, 1995).
            Azolla merupakan tumbuhan paku air yang bersimbiosis dengan ganggan hijau biru anabaena yang mampu menyemat Nitrogen udara sekitar 1-2 kg N/hari (watabene, 1978  cit Tohari, 1996), yang dapat digunakan sebagai pupuk organik yang mengandung sekitar 4%Nitrogen dengan mineralisasi sebesar 70-80% Nitrogen Azolla tersedia pada 5-8 minggu setelah pembenaman. Azolla dapat digunakan sebagai pupuk alternatif sumber Nitrogen. Azolla dapat menggantikan sepertiga kebutuhan Nitrogen. Berbagai penelitian tanggapan tanaman padi terhadap pemberian Azolla telah dilakukan. Misalnya inokulasi Azolla sebanyak 300 gr/m2 pada 7 hari setelah pindah tanam dan dibenamkan setelah menutup permukaan tanah meningkatkan hasil padi IR 26 dan IR 46 sebesar 1.2 ton/ha (watanabe dkk, 1981 cit Tohari, 2006). Arimbi (1991), mendapatkan bahwa inokulasi 300 g azolla/m2 meningkatkan hasil padi IR 64 sebesar 18.2%. dari Hasil Penelitian Tohari (2006), bahwa inokulasi azolla 250 sampai 750 g/m2 dapat menggantikan dosis Nitrogen pada pemupukan susulan kedua.
Bahan organik yang lainnya yanga dapat dimanfaatkan selain dari residu hasil pertanian adalah sampah perkotaan, Potensi sampah organik, terutama dari daerah perkotaan berpenduduk padat sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, pada kota dengan penduduk 1 juta jiwa, timbunan sampah kurang lebih setara dengan 500 ton/hari. Bersadarkan hasil penelitain Endah et al (2008), bahwa pupuk kompos sampah organik dan pupuk kandang dapat menyediakan separuh kebutuhan nutrisi pada budidaya padi, sementara sisanya disediakan oleh pupuk kimia. Endah et al (2008), juga menyatakan bahwa kompos sampah organik dapat menggantikan penggunaan pupuk kimia sampai 50% dari dosis standar pada dosis pemupukan ini tingkat produktifitas padi dapat dipertahankan.
Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang harganya relatif murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui fotosintesis, klorofil tanaman dengan bantuan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbondioksida (CO2) berasal dari udara dan air (H2O) dari tanah. Karbohidrat yang dihasilkan adalah klarbohidrat sederhana glukosa. Di samping itu dihasilkan oksigen (O2) yang lepas di udara.
                               

                        Sinar matahari


klorofil  
6 CO2 + 6 H2O                               C6H12O6 + 6 O2
                                                               karbohidrat

Produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula sederhana yang mudah larut dalam air dan mudah diangkut ke seluruh sel-sel guna penyediaan energi. Sebagian dari gula sederhana inmi kemudian mengalami polimerisasi dan membentuk polisakarida. Ada dua jenis polisakarida tumbuh-tumbuhan, yaitu pati dan nonpati. Pati adalah bentuk simpanan karbohidrat berupa polimer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik (ikatan antara gugus hidroksil atom C nomor 1 pada molekul glukosa dengan gugus hiodroksil atom nomor 4 pada molekul glukosa lain dengan melepas 1 mol air). Polisakarida nonpati membentuk struktur dinding sel yang tidak larut dalam air. Struktur polisakarida nonpati mirip pati, tapi tidak mengandung ikatan glikosidik. Serelia, seperti beras, gandum, dan jagung serta umbi-umbian merupakan sumber pati utama di dunia. Polisakarida nonpati merupakan komponen utama serat makanan.
            Teknik Budidaya padi sawah yang mengacu pada pertanian organik yang dipernalkan di Indonesia saat ini adalah budidaya padi dengan metoda SRI (System of rice Intensification). Budidaya padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%.
Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan   diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Perbedaan pemupukan pada sistem tanama padi dengan metode Sri dengan konvensoinal adalah adalah pada sistem tanam konvensional pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk anorganik, sedangkan pada metode SRI dengan hanya menggunakan pupuk organik.





  

KESIMPULAN

Pertanian konvensional sekarang ini digunakan hampir di seluruh kegiatan pertanian yang ada di Indonesia. Pertanian konvensional adalah praktik kegiatan budidaya pertanian yang lahir dari evolusi hijau. Revolusi hijau menganjurkan perubahan dalam praktik-praktik budidaya pertanian tradisional sebagai jawaban atas pemenuhan kebutuhan produk pertanian yang semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk.
usaha tani padi konvensional merupakan sumber pencemaran lahan, air, dan lingkungan dari residu pupuk dan pestisida yang diaplikasikan secara berlebihan, serta sebagai penghasil gas rumah kaca (GRK), terutama gas metana (CH4), N2O, dan CO2, khususnya di lahan sawah dan lahan rawa pasang surut
Sistem peranian organik yang memanfaatkan pupuk dan pestisida hayati dalam jangka waktu panjang sangat aman terhadap lingkungan, karena bahan-bahan tersebut tidak bersifat asing bagi lingkungan dan cepat terurai menjadi bahan yang tidak berbahaya dan dapat meningkatkan kwalitas tanah
. Daur ulang hara melalui saran limbah tanaman, ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki kesuburan dan struktur tanah dan meningkatkan produksi tanaman khususnya padi.
  

DAFTAR PUSTAKA

Arafah. 2004. Efektifitas Pemupukan P dan K pada Lahan Bekas pemberian Jerami Selama 3 Bulan 3 Musim Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan. J. Sains & Teknologi, Agustus 2004, Vol.4 No.2: 65-71.

Deptan, 2002. Apa itu pertanian Organik. www.deptan.go.id.
Endah D. at all. Efektifitas Kompos Sampah Perkotaan Sebagai Pupuk Organik Dalam Meningkatkan  Produktifitas Dan Menurunkan Biaya Produksi Budidaya Padi

Husin, Y.A. 1994. Methane Flux from Indonesian Wetland Rice: The effects of water management and rice variety. PhD Thesis, Bogor Agricultural University. p. 121−135.
Irsal L et al. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan Dalam Revitalisasi Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

Jenal M. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik metode SRI. Junal Yayasan Universitas Garut.

Juarsah, I. 1999. Manfaat dan alternatif penggunaan pupuk organik pada lahan kering melalui pertanaman leguminosa. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Joko.2004. Kajian Bahan Organik Pada Padi sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian jawa Tengah. Agrosains 6(1):11-4, 2004.

Kasno, A., Suwandi, dan I. Anas. 2003. Usaha mengurangi kadar logam berat melalui pengapuran pada tanah tercemar tailing. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Listiawati R. 1995. Pengaruh Pemberian Bahan Organik dan Nitrogen Terhadap Tanaman Padi Sawah Pada Tanah Grumusol Ngawi dan Aluvian Serang. Skripas. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Baogor.

Makarim, A.K., P. Setyanto, and A.M. Fagi. 1996. Suppressing methane emission from rainfed lowland rice field in Jakenan, Central Java. Paper presented at the International Symposium on Maximising Sustainable Rice Yield through Improved Soil and Environmental Management, Khon Kaen, Thailand.

Nurjaya. 2003. Identification and inventarization of agrochemical pollution at vegetables production areas. Annual Report of Research Station for Agricultural Environment Preservation, Jakenan.

Notohadiprawiro, T. 1989. Dampak Pembangunan Pada Tanah, Lahan dan Tata Guna Lahan, PSL. UGM. Yogyakarta.

Reijntjes, S.J., D. Andow, M.A. Altieri. 1999. Pertanian masa depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius. Yogyakarta.
Sugito, Y. Nuraini, Y. dan Nihayati, E. 1995. Sistem Pertanian Organik. Faperta Unibraw. Malang.
Suntoro Wongso Atmojo, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaanya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatf dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Tohari, 2006. Pengaruh Nisbah Dosis Nitrogen pada Pemupukan Dasar-Susulan Pertama, dan Bobot Inokulasi Azolla Terhadap pertumbuhan Azolla, Gulma dan Padi Sawah. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM.          

Taylor, J.A., G.P. Brasseur, P.R. Zimmerman, and R.J. Cicerone. 1993. A study of sources and sinks of methyl chloroform using a global three dimensional Lagragian troposheric tracer transport model. J. Geophys. Res. 96: 3.013−3.044.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUBUNGAN AIR, TANAH & TANAMAN. - ppt download

HUBUNGAN AIR, TANAH & TANAMAN. - ppt download : Lingkaran Tanah-Air-Tanaman LTAT mrpk sistem dinamik dan terpadu dimana air mengalir d...